Senin, 22 September 2014



Bumi yang terik, mobil dan motor berlalu tanpa ampun. Roda-roda bermesin itu terlihat begitu terburu-buru. Mungkin sedang ingin bermain balapan. Hanya bermain saja, karena untuk balapan di trek, mereka tak punya mental itu. Mereka hanya bermental pengecut. Hanya berani melawan mobil-mobil sayuran, angkot, becak dan sepeda jadulku saja. Untuk bersaing dengan yang lebih kuat, rasanya tidak mungkin.

Bangku berdecit, engsel-engselnya agak reyod. Jika aku menyondongkan tubuh ke samping, maka bangku ikut miring, seperti Menara Pisa. Jika aku bersandar ke belakang, rasa-rasanya hampir akan terjatuh. Tapi aku butuh tempat duduk, untuk menunggu Aksan, teman sekelasku di kampus. Kita janji pergi bersama sambil bersepeda ria.

Ada kuliah pukul dua siang, dan kini sudah setengah dua. Aksan tak kunjung datang. Sudah lima belas menit aku menunggu. Ada nyanyian dari arah perutku, mungkin cacing-cacing sedang menggerutu.

Angkot hijau akan berhenti di sebelah sana, depan halte Metro. Sekitar sepuluh meter dari tempatku duduk. Sepertinya, mau menurunkan penumpang. Aku perhatikan saja untuk mengisi luang.

Sebuah tas koper besar yang mula-mula nongol di balik pintu angkot. Cukup lama. Mungkin berat, kelihatannya begitu. Sebenarnya aku punya niat membantu. Hanya niat saja. Karena dalam ajaran Tuhan, berniat baik sudah termasuk perbuatan baik. Berbeda jika berniat jahat. Niat itu tidak tidak akan dituliskan dalam catatan malaikat apabila kejahatannya tak dikerjakan.

Akhirnya muncul kepala dari dalam angkot tersebut setelah koper tadi sudah di luar. Seorang perempuan. Berjilbab. Kelihatannya masih muda, seumuranku. Sepertinya cantik, hanya saja aku tak bisa melihat jelas mukanya. Sedari keluar angkot, ia tak pernah menghadap ke arah ku. Padahal, aku harap dia bisa melihatku yang sedang bosan menunggu Aksan di sini. Atau paling tidak, aku yang dapat memandang wajahnya yang cantik, kalau memang dia cantik. Tapi sepertinya begitu.

Perempuan itu keluar bersama temannya yang juga perempuan, tapi tak berjilbab, dan memakai kaos pendek putih. Ia mengurai rambutnya setiba di trotoar untuk merebahkan diri. Duduk di angkot, sebentar atau lama sama saja. Sama-sama buat pegal. Makanya, aku pilih berkendara sepeda saja. Yang lebih sehat dan lebih menantang.

Temannya, setiba di trotoar, langsung mengalihkan pandangannya ke arah aku duduk. Bukan melihatku. Hanya tatapan basa-basi tanpa tujuan. Pandangannya kosong, mungkin melihat sesuatu yang jauh dariku karena ia sama sekali tak melirikku. Meskipun begitu, yang penting aku bisa melihat wajahnya. Ternyata cantik juga, dan lirikan mataku terpaku pada orang itu. Memang, melihat orang cantik itu menyegarkan.

Mereka berdua mungkin akan menyebrang jalan, dan menunggu lalu lintas aman dengan mengobrol. Membicarakan entah apa tapi terlihat begitu menyenangkan. Aku pun tak peduli. Hanya saja, perempuan berkaos putih itu menghalangi jarak pandangku terhadap temannya. Padahal aku sangat ingin melihatnya. Biar cuaca yang terik, menjadi sejuk.

“Ayolah! Minggir, kau!” Benakku kesal.

Sejak hubungan berpacaranku tamat dengan Aliya, pandanganku lebih mudah teralihkan oleh gadis-gadis lain. Muda ataupun tua. Cantik ataupun tidak, meski pada akhirnya jika tak sesuai dengan seleraku, segera ku alihkan pandangan. Aliya memang tak begitu cantik, kata orang lain. Tapi tidak bagiku. Ia adalah mahadewi yang tersesat di bumi. Dan pada akhirnya menemukan pelabuhan di hatiku. Meski sekarang, ia sudah berangkat lagi.

Aku percaya dengan sebuah obrolan dari seorang jenderal tua. Katanya, bukan cantik yang menjadikan cinta, tapi cinta yang menjadikan cantik. Perkataan itu, terpatri di pikiranku sampai sekarang. Sampai akhirnya hubunganku dengan Aliya berakhir. Sampai akhirnya, aku menjadi tergila-gila pada wanita cantik.

Jalanan sudah lengang. Ada mobil, tapi cukup jauh dari jarak pandang. Adapula motor, tapi hanya pelan saja. Kendaraan lainnya tak ada, dan mereka berdua siap menyebrang.

“Ah tidak, kesempatanku akan hilang,” bisikku dalam hati. “Masa aku harus cari perhatian dengan berpura-pura ingin membantunya mengangkat koper?”

Akhirnya daripada kesempatan itu hilang, segera aku berdiri dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjadi seorang pahlawan. Meskipun kesempatan pasti datang lagi, apa salahnya aku ambil kesempatan emas ini. Barangkali saja, dia itu jodohku. Dan lewat pertemuan ini, kita bisa merajut cinta sampai mati.

Ku hentakkan langkah kaki pertamaku dan, “Hai! Mau kemana, kau, Andra?” Sepertinya Aksan.

“Maafkan aku telat cukup lama.” Dan ternyata benar itu Aksan.

“Oh tidak. Kesempatanku berakhir,” sesalku dalam hati. Aku tak berani melanjutkan membantu para gadis itu karena aku takut dituduh cari perhatian. Tuduhan-tuduhan seperti itu kerap dilancarkan Aksan selepas aku putus dengan Aliya. Alasannya, aku dianggap tidak bisa berpindah ke lain hati dan cenderung akan mencari banyak perhatian.

Langkah pun ku hentikan.

“Aksan, kau datang tepat pada waktunya,” sindirku.

“Bukankah aku telat?” Dia pura-pura bodoh atau memang bodoh. “Tapi terima kasih, kau memang teman yang baik. Meskipun aku telat, kau tetap berbaik hati kepadaku dengan berkata begitu.”

Dia memang benar-benar bodoh.

Suasana menjadi tegang. Aliran darahku terasa mengalir lebih cepat. Saat ku alihkan pandangan kepada gadis-gadis tadi mereka sudah di tengah jalan. Langkahnya cukup cepat karena beban yang sepertinya berat. Dan mereka semakin menjauh. Dan harapanku untuk melihat wajahnya pupus karena Aksan.

“Mereka temanmu?” Aksan bertanya dengan lepas.

“Bukan.”

“Lalu?”

“Entahlah.”

“Aku tau maksudmu?”

“Apa?”

“Kau pasti ingin cari perhatian.”

“Tidak.”

“Sudahlah, akui saja!”

“Tidak, aku tak mau melakukan apa-apa.”

***

Aku pun mengakuinya selepas kita naik sepeda. Segala maksudku terhadap gadis-gadis tadi, ku ungkapkan kepada Aksan. Biar segala penatku, Aksan pun merasakannya. Biar rangkaian kata-kata menari bersama simbol-simbol emosi yang keluar dari mulutku, merasuk jauh ke dalam pikiran Aksan. Biar dia mengerti, kenapa dia tidak boleh menggangguku lagi.

“Itu adalah keistimewaan sebagian perempuan,” Aksan mulai berkata-kata seperti para filosof berceramah di lorong-lorong gua. “Mereka yang dillindungi, wajahnya dibentengi oleh perisai Tuhan.”

Dahiku mengkerut tanda ketidakpercayaan.

“Banyak orang memang tak akan percaya dengan apa yang aku ucapkan,” Aksan mulai menyombongkan dirinya yang bodoh. “Kata-kataku terlalu suci dan tinggi untuk dimengerti oleh orang-orang awam hingga aku menjelaskan.”

“Ya sudah, jelaskan!” Dengan terpaksa, karena keingintahuanku, aku harus jadi orang awam.

“Begini, pemuda,” papar Aksan, “Bahwa Tuhan melindungi tubuh perempuan yang tubuh itu dijaga oleh perempuan itu sendiri. Termasuk wajahnya. Mereka dengan sebaik mungkin menjaga diri mereka dari segala hal yang tak bermoral. Maka dari itu, Tuhan pun menjaga mereka dari segala perbuatan tak beretika seperti apa yang akan kau lakukan tadi. Mencuri-curi pandang terhadap seorang perempuan.”

“Jadi kau menuduhku lagi?”

“Jika semua pencuri di dunia ini mengaku, penjara akan diperluas.”

“Terserah kau!!”

Akhirnya, kita sampai di kampus pukul dua siang lebih sepuluh menit.

Posted on Senin, September 22, 2014 by Unknown

1 comment

Sabtu, 20 September 2014

Dwi



Apa yang dilakukan saat pagi terbelalak, adalah apa yang akan menjadikan matahari menguning dan mengemas. Sinarnya berpantulan dalam ruang luas bentangan langit. Ia menjadi cahaya dalam dimensi perputaran roda bumi. Menerangi larva di balik daun dan kumbang pada lipatan tanah. Di saat rombongan manusia masih bersatu dalam mimpi, ia mulai membuka mata untuk mengemulsi cahaya, embun, dan udara pagi menjadi sebuah semangat hidup.

Tertiup angin, aspal berdebu. Kerikil-kerikil beradu. Dwi menghentak bumi dengan ritma orang berlari. Ia dikejar waktu untuk mencapai halte dimana bis kota masih merangkak belum berpacu. Napasnya tersengal dengan detak jantung beraturan. Dwi bisa berlari sambil mengatur aliran udara dalam tubuh, sehingga tak merasa lelah.

Dwi berlari, dan orang-orang di pasar bersautan. Saling melempar pesan sambil berkirim senyuman. Dwi kenal hampir mereka semua. Begitupun mereka terhadap Dwi, yang pun sangat menghargai. Dwi anak seorang janda tua pedagang sayur dan asin-asinan. Namanya Sri. Mereka mengais rizki sebelum ayam berkokok di balik suara paraunya. Mereka punya asa untuk tetap hidup, meski tanpa ayah. Ayah yang pergi demi wanita muda pada dasawarsa lama.

Sudah pukul tujuh lebih lima menit, Dwi melihat jam tangannya. Jarak masih dua kilo dan bis sudah enggan menunggunya, ia tahu itu. Bis Leuwipanjang-Ledeng memang terkenal disiplin. Pengemudinya, entah berasal darimana, menghargakan waktu melebihi uang, tak seperti kondektur-kondekturnya yang biasa menangguhkan keberangkatan. Pengemudinya, biasa tetap melaju meski tanpa penumpang. Jika kecuali karena macet, bis selalu datang dan pergi dengan tepat waktu.

Itulah yang jadi kekhawatiran Dwi. Bis harusnya berangkat pukul tujuh tepat. Dan ini sudah jam tujuh lebih delapan menit. Meski ada, bis selanjutnya beroperasi pada pukul setengah delapan. Waktu yang akan menjadi sangat lama apabila terpaksa harus menunggu. Masalahnya, mata kuliah Sosiologi Masyarakat Modern akan mulai pada pukul delapan. Tepat pada waktunya, tepat dosennya selalu datang tanpa telat.

Ini hari selasa. Jarak tinggal satu kilo, dan jarum panjang menunjuk angka dua. Dan tak ada ojek yang bisa ia tumpangi. Setidaknya, untuk menghemat waktu daripada ia harus menghabiskannya sampai di terminal dengan berlari. Semakin Dwi melihat arloji, semakin ia pasrah terhadap waktu. Semakin bayang-bayang di balik matanya redup diterpa angin rasa menyerah. Dwi menjadi teringat Mang Kardi, yang ia yakin Mang Kardi-lah penyebab telatnya ia naik bis.

Lima belas menit menuju jam tujuh pagi. Pasar masih ramai orang-orang bertransaksi. Apalagi komplek sayuran, yang selalu ramai tiap hari. Dwi bersiap-siap berangkat menuju kampus. Jarak tiga kilometer dari pasar cukuplah ia tempuh dalam waktu seperempat jam. Dwi bersalaman dengan ibunya. Kening Dwi dicium sayang. Tugasnya di pasar sudah selesai, terlebih memang ia sedang ada kelas pagi.

Tiba-tiba frekuensi suara beradu dengan gendang telinga Dwi. Jarak suaranya terdengar masih jauh, Dwi hanya melongak-longok. Suara itu pun terdengar semakin dekat, dan Dwi tahu datangnya dari arah jalan raya, tak jauh dari gerbang pasar. Suara itu semakin kencang keluar dari mulut orangnya, Dwi yakin begitu karena orang yang memanggilnya tak kunjung datang. Dwi dan ibu masih melongak-longok.

“Dwi!” Akhirnya menyembul kepala di balik tangga gerbang masuk pasar. Itu Mang Kardi, adik ibu. “Aku butuh bantuanmu sebentar. Aku baru dikirim barang dari distributor. Bantulah aku mengangkat kiriman-kiriman tersebut menuju toko!”

“Tapi aku mau berangkat kuliah, mang,” tolak Dwi mentah-mentah.

“Ayolah sebentar saja, lagipula masih ada waktu lima belas menit lagi. Pasar dan terminal kan berdekatan, cuma tiga kilo.” Mang Kardi tahu bahwa Dwi sedang mengejar bis kota. Karena ia pun tahu, hari ini jadwal kuliah pagi Dwi. Tapi bagaimana lagi, pegawai Mang Kardi belum datang satu pun.

“Bantulah Mang Kardi, Dwi,” selah ibu saat ia dan Mang Kardi bernegosiasi.

Dwi akhirnya mengalah saat senyum tawar ibu melunturkan kekerasan hatinya. Meski cukup dongkol, Dwi berusaha tulus. Bukan karena permintaan Mang Kardi, tapi karena rayuan ibunya.

Barang-barang pun selesai dialihkan. Kotak-kotak dus makanan dan minuman berjejer dan bertumpu dengan rapih di depan etalase toko. Asap knalpot mengepul hitam di balik wajah Mang Kardi tanda mobil box distributor sudah pergi. Dan Dwi sadar, ternyata mengangkut barang tak memakai waktu yang sebentar, butuh sepuluh menit untuk menghabiskan semuanya.

Dwi segera bergegas meski tak yakin akan sampai di terminal dalam waktu lima menit hanya dengan berlari, bahkan bermotor sekalipun. Ia pun berpamitan sekali lagi pada ibu. Dwi hanya mencium tangan ibunya tanpa dikecup lagi keningnya. Dwi sedang sangat terburu-buru. Ia tak punya pilihan selain segera beranjak menuju terminal. Dan, melewatkan Mang Kardi yang masih tertegun memandangi mobil box yang kian menjauh melaju pergi.

“Tetaplah ikhlas dalam waktu kapanpun dan bagaimana pun kondisinya. Kau akan dengan segera mendapatkan hasilnya jika hatimu ringan dalam berbuat sesuatu, apalagi membantu. Allah memudahkan jalan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Merekalah orang-orang yang bersih hatinya dari penyakit-penyakit setan seperti kebencian dan hasud,” pesan ibu sebelum Dwi berangkat.

Napas Dwi akhirnya terengah karena perasaan yang labil. Ia hanya bisa mengatur napas ketika emosinya stabil. Terminal memang sudah masuk dalam jarak pandang mata, tapi masih perlu ditempuh dengan waktu lima menitan. Dan sekarang, sudah pukul tujuh lebih lima belas menit.

Dwi sudah kehilangan asa. Jika jadi pergi kuliah, ia akan hanya membuang waktu. Sang dosen tak pernah mengizinkan mahasiswa masuk melebihi waktu datangnya ke kelas, meski mahasiswa itu hanya berjarak lima atau bahkan satu meter di belakangnya. Kontrak kuliahnya memang seperti itu.

Jika pergi pukul setengah delapan, ia tak yakin akan sampai di kampus tepat waktu. Waktu normal Leuwipanjang sampai Ledeng tak pernah kurang dari 45 menit. Akhirnya Dwi menghentikan langkah dengan emosi yang kacau dan perasaan yang bercampur aduk. Ia kesal pada pamannya, termasuk pada ibunya. Di satu sisi, ia pun malu kepada ibu karena tak bisa menjalankan amanah untuk tak pernah bolos masuk kuliah. Dwi merasa hancur. Dan, bising lalu lalang kendaraan semakin mendramatisir kehancuran Dwi.

Suara klakson tiba-tiba berbunyi tepat di balik daun telinga Dwi. Sontak ia kaget. Dalam keputusasaannya, ia bergeming, mengapa masih ada orang jahil. Mengapa Tuhan tak berpihak pada Dwi, kesalnya di dalam hati. Mengapa pada saat-saat seperti ini, tak datang seorang malaikat ataulah bidadari untuk menghibur dirinya yang sedang terpuruk.

Plak! Dengan keras sebuah telapak tangan mendarat di bahu Dwi. Ia langsung teringat Mang Kardi, karena begitulah caranya menyapa orang lain.

“Hei, naiklah motorku!” Ternyata benar, itu Mang Kardi.

Meski kaget dan meski merasa ada setitik cahaya menyembul di ruang pekat kegelapan, Dwi tetap tak bergeming. Ia terlanjur putus asa.

“Ayolah! Jika kau seperti itu, kau akan membuat malu dirimu dan ibumu, kawan.” Dari intonasi suaranya, terdengar Mang Kardi seperti merasa bersalah. “Meski sudah pukul tujuh lebih dua puluh menit, tak ada salahnya kita mencoba. Barangkali saja, bis belum berangkat.”

“Mana mungkin!” Ketus Dwi.

Dengan terpaksa Mang Kardi menarik tangan Dwi yang terkulai bagai daging tanpa tulang. Mang Kardi memaksa Dwi naik ke atas motor, dan segera bergegas melaju menuju terminal.

Sesampainya di tempat naik bis, dugaan Dwi tepat sasaran. Bis pemberangkatan kedua, pemberangkatan jam tujuh pagi, sudah tak terlihat roda-rodanya. Di sana hanya ada bis jam setengah delapan, lima menit lagi beroperasi. Kadung kecewa, Dwi tak peduli. Ia memutuskan sama sekali tak akan berangkat ke kampus karena hanya ada satu mata kuliah saja hari ini. Hingga akhirnya, telepon Dwi bergetar.

“Kawan-kawan, ada informasi dari kosma bahwa Pak Hasim tak bisa datang. Katanya, ia ada keperluan ke luar kota. Sehingga untuk mata kuliah hari ini, diganti menjadi tugas take home. Untuk lebih jelas tugasnya, bisa dilihat di blog beliau,” kata Husna lewat pesan elektroniknya. Kegelapan pun memudar, mata Dwi terbelalak. Ia kaget dengan apa yang terjadi. Ia tak menyangka kejadiannya akan berakhir seperti ini. Dwi pun terkulai, dan merebahkan diri di kursi tunggu penumpang.

Posted on Sabtu, September 20, 2014 by Unknown

1 comment

Jumat, 12 September 2014



Dalam sebuah perbincangan, teman saya pernah membahas tentang mengapa sebuah nasihat tak pernah menjadi bahan pertimbangan orang yang mendengarkannya. Nasihat hanya menjadi desir suara yang berlalu setelah hal itu didengarkan. Seperti halnya sebuah ceramah, banyak yang datang hanya untuk mendengarkan dan pulang dengan tanpa membawa apa-apa. Biasanya istilah ini disebut dengan ‘masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri’. Seperti itulah memang kenyataan yang terjadi.

Hal yang seperti ini memberi gambaran pada kita semua, bahwasanya ada sesuatu yang hilang dalam proses saling berhubungan antarsesama manusia. Hal inilah yang perlu kita runtut masalahnya biar menjadi clear. Persoalannya, jika realita ini dibiarkan terus menerus, ke depannya diprediksikan akan terbentuk sebuah pola pikir masyarakat yang bersikap antipasti terhadap ajakan-ajakan kebaikan.

Bila diambil sebuah analogi, mungkin bisa saja seperti ini. Apa yang dikeluarkan hanya berasal dari organ tubuh nyata berupa mulut, akan diterima oleh organ tubuh nyata lainnya yang bernama telinga. Maka dari itu, setelah masuk telinga kanan, akan keluar lewat telinga kiri. Dengan begitu, nasihat tak pernah bersemayam dalam diri manusia.

Berbeda apabila kejadiannya seperti ini. Apa yang dikeluarkan lewat mulut, sebelumnya berawal dari organ tubuh yang abstrak, yaitu hati. (Dalam pembahasan ini, hati yang dimaksud adalah perasaan, emosi, jiwa tentang ketulusan dan keikhlasan, bukan hati dalam definisi organ tubuh nyata manusia yang punya nama lain, liver.)

Apa yang dikeluarkan berasal dari hati, ternyata itu dapat sampai ke hati pula dan bersemayam di sana. Itulah kehebatan daripada hati. Sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat manusia. Jika hati menjadi asas sebuah ucapan dikeluarkan lewat mulut, maka kemudian hati pula yang akan jadi tempat kembalinya ucapan tersebut setelah masuk ke dalam telinga.

Inilah keistimewaan yang selama ini belum kita sadari. Bahwa sebuah pekerjaan yang menyangkut apapun, jika diucapkan dengan dasar hati yang tulus dan ikhlas, itu akan menjadikan pekerjaan yang berkaitan menjadi sebuah pekerjaan yang dimudahkan. Betapa pun beratnya, hal tersebut akan terasa ringan untuk dikerjakan.

Maka dari itu, perlulah kita memperbanyak kesyukuran kepada Tuhan yang Maha Kasih. Kesyukuran itu tak hanya berupa sujud dengan cucuran air mata, tapi dengan bekerja semakin lebih baik, itu merupakan tanda kesyukuran seseorang kepada Tuhannya.

Dalam Qur’an Surat An-Nahl ayat 78, penjelasan mengenai hati sebagai pembuka wawasan semakin ditegaskan. Kurang lebih, pernyataan kandungan dalam ayat tersebut menegaskan bahwa manusia berasal dari ketidaktahuan. Namun, ketika manusia menggunakan sam’a (pendengaran), abshor (penglihatan), dan fu’ad (hati) yang diberikan Tuhan, maka manusia harus pandai melakukan kesyukuran atas hal tersebut. Karena dengan hal-hal tersebut, manusia menjadi makhluk yang paling sempurna di antara makhluk Tuhan lainnya.

Namun Imas Rohayati dalam kuliah Esensi Al-Qur’an menafsirkan lebih apa yang dimaksud dengan fu’ad di dalam ayat tersebut. Bahwasanya kata tersebut punya arti tambahan selain dari hati, yaitu akal. Maka fu’ad adalah kombinasi antara akal dan hati. Pikiran dan perasaan. Nalar dan emosi. Yang kedua hal tersebut berjalan dengan seimbang untuk menakar apa yang didapatkan pendengaran dan penglihatan.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwasanya hati menyebabkan pekerjaan kita semakin ringan, semakin mudah, dan semakin bermanfaat. Maka, marilah kita menata segala pekerjaan kita untuk dikerjakan dengan hati yang bersih, tulus, dan ikhlas demi kemaslahatan diri kita sendiri dan juga orang lain.

Posted on Jumat, September 12, 2014 by Unknown

1 comment

Jumat, 23 Mei 2014



Futurolog pada abad 20, semisal John Naisbith dan Alvin Toffler dalam The Three Wave dan Megatrend 2000, telah meramalkan bahwasanya abad 21 adalah abad spiritualitas. Dan itu benar terjadi, kini umat manusia berbondong-bondong kembali pada spirit atau fitrah mereka. Hal ini terbukti dari, salah satunya, dunia perfilman yang semakin sering mengangkat isu-isu spiritual atau religi.

Dulu, tren film di Indonesia adalah seks, kekerasan, dan horror. Tapi kini masyarakat lebih memilih film-film yang bernilai spiritualitas, sejarah, atau bahkan dokumenter. Inilah yang mesti Umat Islam tangkap untuk dikembangkan.

Dakwah Islam bukanlah gerakan dakwah yang terbatas pada pemanfaatan kualitas individu untuk menyampaikan dakwah melalui mimbar saja. Pemanfaatan ranah perfilman, merupakan cara yang cukup efektif falam membangun kesadaran Islami.

Sebagian film religi, memang, seringkali menimbulkan perdebatan. Hal ini didasarkan pada pesan yang disampaikan tidak sejalan dengan kondisi pemahaman masyarakat secara umum. Oleh karena demikian, perlulah sebuah film itu mengangkat nilai Islam yang universal, agar tak malah menjadi biang daripada perselisihan.

Pesan yang universal dapat dilihat dari kadar wacana yang dikembangkan dalam film tersebut. Ambil contoh, pesan-pesan humanis. Bagaimana seseorang itu saling membantu satu sama lain dalam berbagai kesusahan. Atau, bagaimana sebuah kelompok menghindari perselisihan atas dasar kerukunan bersama.

Nah, di balik pesan universal, ada pesan yang sifatnya parsial. Diantaranya, bagaimana pelaksanaan ibadah satu mazhab fikih ditekankan dalam satu film. Pesan semacam inilah yang mesti dihindari untuk disampaikan kepada khalayak umum. Hal ini ditujukan agar tak terjadi keberpihakan sebuah film terhadap satu mazhab, sehingga akhirnya menimbulkan perselisihan.

Terlepas dari berbagai bentuk pesan ini, satu hal yang lebih penting adalah berkarya. Umat Islam, terkhusus para pemuda, diharapkan ketika berkarya, condongkanlah karya itu kepada nilai-nilai dakwah. Agar, khazanah Islam itu tidak kering, penuh dengan pembaharuan dan kreatifitas.

Selain daripada itu, bukankah seringkali kita berkomentar atas film-film yang tak sarat akan nilai? Nah, daripada kita hanya berkomentar, lebih baik kita balas melalui karya berbentuk film. Bukankah itu ciri daripada sikap intelektual?

***

Posted on Jumat, Mei 23, 2014 by Unknown

No comments



Ini merupakan catatan secangkir kopi lainnya. Lebih tepat lagi, kopi dingin yang sudah hampir habis. Tak seperti dinamika politik kita yang tak akan pernah habis, saya kira.

Sebelum lebih jauh, mari sedikit bernostalgia pada kurun waktu enam belas tahun yang lalu. Waktu itu, jala republik ini digetarkan oleh bola yang ditendang oleh para mahasiswa, aktivis revolusi. Bagaimana gairah terbebas daripada belenggu penyanderaan politik begitu membara. Sampai pada akhirnya, jala terbakar oleh bola api yang berkobar.

Cita-cita pada waktu itu cukup sederhana. Hanya butuh perubahan, istilahnya reformasi. Ya.. reformasi politik lah, reformasi ekonomi lah. Sebagaimana yang ditulis Bapak Reformasi, Amin Rais, bahwa semangat kami tak akan pernah padam. Hal itu ditulisnya, dalam Ini Adalah Skenario dari Allah.

Kini, alih-alih lebih baik, semangat reformasi malah terasa menjadi hambar. Pengusungan nilai-nilai kebebasan terlalu kebablasan. Tak ada bentuk pengawasan yang nyata daripada pengais suara bangsa ini. Keterbukaan menjadi tabu. Akhirnya penyelewengan wewenang terjadi dimana-mana.

Bila boleh berandai-andai, Indonesia masih belum pantas untuk terbebas dari jeratan keterkerdilan di masa orde baru. Bangsanya masih perlu dipapah untuk sekedar berjalan. Belum terlihat yang namanya kemandirian berpikir untuk menjauhkan diri dari kepentingan pribadi atau segelintir orang.

Benar sekali apa yang dikatakan saudara saya di sebelah sana. Bahwa alat perang kini bukanlah senjata berisi peluru, tapi media massa. Masing-masing individu atau kelompok, bukannya membangun kebersamaan, malah berperang.

Pilu ketika melihat bagaimana kecenderungan berpikir masyarakat ini dipermainkan oleh orang-orang di balik senjata itu. Bagaimana opini publik dilempar ke sana kemari tanpa perasaan bersalah.

Tapi kini bukanlah saatnya untuk merenungi kesalahan. Sudah cukup terlalu lama kita merenung di kedalaman realita. Sekarang adalah saatnya untuk memperbaiki kesalahan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki hal-hal yang belum baik. Cahaya reformasi masih berpendar di ujung ruang gelap ini.

***

Posted on Jumat, Mei 23, 2014 by Unknown

1 comment

Jumat, 16 Mei 2014


Nomor Tidak Dikenal
Malam nampak sedang marah. Langit dunia legam tanpa bintang. Hanya awan, saling beriringan dalam buaian angin di angkasa. Dan Sari, mungkin masih ketakutan atas marahnya malam, soalnya ia belum tidur. Ia sendiri, terduduk lesu di atas kursi kayu, di antara dua kursi lainnya yang mengitari meja kayu bundar.

Tepat di malam itu pada sembilan tahun yang lalu, ketika Satya masih berusia sepuluh tahun, Sari ditinggal suaminya. Ayah Satya ini, Hamid, wafat dalam pelukan Sari. Hamid sakit paru-paru basah karena terlalu banyak merokok, itu kata tabib di kampungnya. Jelas bendungan air mata Sari pecah malam itu pula. Bahkan ia sampai tidak sadarkan diri sesaat setelah Hamid berhenti bernapas. Kebersamaannya bersama Hamid, harus berakhir karena batang-batang rokok.

“Satya, semoga kamu tidak mengikuti jejak ayahmu yang buruk itu.” Sari berharap dalam benaknya.

Di atas meja, ponsel Sari bergetar. Dilihatnya, ternyata ada pesan dari Satya.

Bu, ibu belum tidur? Aku tiba-tiba terbangun. Baru saja aku bermimpi bertemu dengan ayah. Aku merindukannya, bu. – Ucap Satya dalam pesan singkatnya.

Sari terkejut. Baru saja ia memikirkan putra bungsunya, tiba-tiba ada kiriman pesan dari anaknya itu. Mungkin ini yang dinamakan kesatuan jiwa seorang ibu dan anaknya. Raganya terpisah, tapi ruhnya bersatu.

Sudahlah, nak. Lagipula itu hanya mimpi. Segeralah tidur kembali.. – Sari menjawab pesan itu dengan singkat.

Berselang beberapa menit, ponsel Sari bergetar kembali. Kali ini Satya mencoba menelepon. Mungkin ia tak puas dengan jawaban ibunya yang singkat itu.

Namun sayang, Sari enggan menjawab panggilan itu. Ia biarkan saja bergetar. Malah Sari bergegas berdiri dan pergi berlalu meninggalkan beranda rumahnya itu. Ia pergi ke dapur untuk menyeduh segelas hangat teh manis. Sedangkan, ponselnya terus bergetar.

Setibanya dari dapur, Sari duduk kembali di kursi yang berbeda dengan tempat duduknya yang pertama. Ia taruh gelas teh-nya lalu melihat ke layar ponsel. “Wah, ada lima kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan. Padahal di dapur aku tidak lama,” gerutunya pada angin malam.

Lalu diambilnya ponsel itu. Dilihatnya, ada empat kali panggilan dari Satya dan satu nomor tidak dikenal. “Nomor siapa ini?” Pikirnya santai, “Ah paling orang salah sambung.”

Sari pun menyimpan kembali ponselnya dan mulai menyeruput teh.

“Sebentar, perasaan tadi ada SMS.” Sari mengambil lagi ponselnya dan membuka pesan itu.

Lihat ke arah utara! Aku berada di balik pohon beringin. – Pesan orang di balik nomor tidak dikenal itu.

Sontak Sari kaget. Ia terperanjak hingga kursi yang didudukinya terjatuh. Bahkan, tak sengaja ia menyenggol meja sampai gelas teh yang disimpan di atasnya terjatuh ke lantai dan pecah. Ia kemudian berlari ke dalam rumah. Lalu Sari bersembunyi di balik pintu depan yang telah ia tutup dan kunci. Jantungnya berdebar kencang. Benaknya kacau. Ia terpikirkan berbagai hal.

Sari bingung mau kemana. Ia hanya bisa berdiri di balik pintu, menjaga agar tidak ada siapapun masuk. Detik jam dinding terasa begitu bersuara kencang. Tik tok tik tok di ruang tamu yang hening membisu.

Sari mulai menangis. Ia kalut. Sari berharap ada Hamid di sampingnya sekarang. Tapi itu hanya angan-angan kosong, tak mungkin dapat terjadi. Lalu Sari mencoba menelepon Hamid. Namun sayang, sepertinya ponsel Hamid mati. Di balik ponselnya, Sari hanya mendengar suara perempuan bersuara lembut yang mengatakan, “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif dan berada di luar jangkauan.”

Sari sudah kehilangan asa. Saking takutnya, tubuh Sari perlahan melemah. Ia terkulai lemas di balik pintu. Ia merasakan pusing yang sangat. Pandangannya mulai kabur. Ruang tamu seakan berputar-putar dalam benaknya. Dan jam dinding seperti sedang menertawakannya.

Akhirnya, Sari tergeletak di lantai dan pingsan.

***

Posted on Jumat, Mei 16, 2014 by Unknown

1 comment

Senin, 12 Mei 2014

Ia berteriak selepas membukakan mata dari lelap tidurnya. Satya terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpi, ia terdampar dalam sebuah ruangan bercat putih. Nampak jelas berbentuk kubus, dan tak berjendela maupun pintu. Ruangan polos, tembok yang rata, dan, tak ada apapun di sana.

Sela ia menghela napas, perlahan tembok itu mulai mendekatinya. Tiap sisinya bergeser. Samping kanan, kiri, atas, depan, kecuali belakang dan bawah, bergeser menyempit. Satya teraneh-aneh dan mulai ketakutan.
Semakin menyempit, tembok-tembok itu tiba-tiba berhenti bergeser. Satya mulai tenang.

Diambilnya napas panjang, “Huh.” Dan Satya menutup matanya.

Lepas ia membuka matanya kembali, ruangan nampak benar-benar sempit. Hanya jarak satu meter ke depan, satu meter ke samping. Pokoknya semua sisi berjarak sama. Satya kaget dan kebingungan. Malah menjadi takut karena tembok itu semakin mendekat.

Kini tembok mulai menyentuh tubuh Satya. Bahu Satya menyentuh tembok. Begitupun kepalanya. Kini ia terhimpit dalam sebuah kotak kecil. Sedangkan Satya hanya bisa terduduk jongkok dalam kotak itu.

Ia semakin resah. Namun semakin ia resah, tembok itu malah terasa semakin menghimpit. Satya sudah hampir kehilangan asa. ia merasa akan remuk. Terhimpit dalam kotak yang terasa makin kecil itu.

Satya mulai memasukkan kepalanya di antara kedua lutut kakinya. Ia tertunduk dalam himpitan yang semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar kehilangan asa untuk hidup. Tubuhnya mulai terasa sakit karena tembok itu benar-benar menekan tubuh  Satya.

Dalam kegelisahan yang berakhir kesakitan itu, Satya tak sadar, kalau sejak awal ia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tapi wajar, karena ruangan itu nampak seperti hampa udara, jadi Satya tidak merasa dingin, walau ia tetap bisa bernafas.

Sekarang yang jadi masalah, Satya tak tahu mesti berbuat apa-apa. Ia pasrah pada apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Ia sudah rela kalau-kalau badannya remuk terhimpit dalam ruangan yang sudah tak menyerupai ruangan. Satya merasa seperti ada dalam sebuah kotak besi yang terkunci. Mematung tak bisa bergerak.

“Satya!” Ia mendengar suara orang memanggilnya. “Satya!”

Ia kembali mendengar panggilan itu untuk ketiga kalinya, “Satya!”

Satya menatap ke depan. Ia mengangkat wajahnya dan membuka mata.

Ia kaget. Satya terlempar beberapa sentimeter ke belakang. Ia melihat sebuah wajah dalam gelapnya ruangan itu. Mata, hidung, bibir, pipi, dan sebagian keningnya terlihat jelas karena bantuan cahaya lilin.

“Satya, kenapa kamu?”

Satya tak menjawab.

“Ini paman. Ada apa kamu teriak-teriak tengah malam begini?”

“Paman?”

“Untungnya Hafiya kebluk. Jadi dia tidak terbangun, walau dia tidur di sampingmu.”

“Aku bermimpi aneh, paman.”

Satya mulai menceritakan mimpinya. Dari awal sejak ia terdampar dalam ruangan putih hingga ia terhimpit.

“Tenang, kau cuma bermimpi.”

“Tapi aku takut. Dan parahnya aku tak bisa berbuat apa-apa.”

“Satya, sebenarnya kau bisa berbuat apa-apa. Kau hanya berada dalam tekanan saja, hingga kau merasa tak berkutik. Padahal kau tak tahu apa yang akan terjadi kalau kau bergerak dan mencari penyelesaian.”

“Iya, paman, memang begitu. Tapi bagaimana lagi? Aku benar-benar merasa lemah dan begitu ketakutan.”

“Sudahlah. Itu hanya perasaan. Lagipula itu hanya mimpi.”

Satya menganggukan kepalanya dan mulai menata kembali tempat tidurnya untuk berbaring. Sementara paman Karya, meninggalkan kamar sembari meniup lilin. Pintu pun ditutup, dan kamar kembali gelap.


Posted on Senin, Mei 12, 2014 by Unknown

No comments

Jumat, 07 Maret 2014


Laju angin disertai hujan nampak enggan berhenti sore ini. Peluhku memuncak merasakan kedinginan yang menancap dalam di pori-pori kulitku. Beberapa orang kulihat berlari berpayung sambil berseri di trotoar jalan tepat beberapa meter di depan tempat aku sedang berteduh. Berlalu lalang di depanku, terkadang menyeberangi jalan untuk kembali lagi. Dan beberapa kali berputar-putar di jalan yang lengang.

Untung saja, toko ini sudah tutup. Sehingga aku dapat bernaung menghindari badai yang tak berhenti semenjak aku tiba. Perjalananku yang panjang tadi memang membuatku ingin segera merebahkan diri. Tapi hujan, membuatku terpaksa beristirahat sejenak di sini.

Di, sudah sampaikah? Barusan ibu telpon pamanmu, katanya kau belum tiba. – Tanya ibu dalam SMS yang baru saja kubuka.

Aku terjebak hujan, bu. Mungkin jeda beberapa menit lagi, hujan ini reda. Dan aku akan segera menemui paman. – Balasku masih dengan tubuh yang sedang menggigil.

Sebenarnya, aku khawatir dengan barang yang ibu titipkan. Sebuah kotak kardus seukuran celengan masjid yang nampaknya mudah rusak bila terkena air. Dan sekarang, hujan masih enggan berhenti dengan laju kencang anginnya. Oleh karena itu kusimpan kotak ini di belakang tas ranselku. Kuletakkan tepat di sudut toko dimana aku bernaung.

Sepanjang ku menunggu hujan mereda, kegiatan yang dilakukan beberapa orang tadi menjadi tontonanku. Aku heran mengapa masih ada orang yang bermain-main di terpaan cuaca seburuk ini, sedangkan orang lain berusaha untuk berteduh. Lihat saja, selain aku yang sejak tadi bernaung di bawah kanopi toko ini, ada beberapa orang, pun menepi meski mereka nampak sedang melakukan perjalanan dengan sepeda motornya.

Kalau begitu, hati-hati, nak! – Pesan ibu membalas SMS-ku. Sepertinya ibu sedang mengerjakan sesuatu di rumah. Aku harus menunggu beberapa menit hingga kudapatkan balasan SMS darinya. 

Ibu memang pekerja keras, tapi sayang, aku tak pernah diperbolehkan untuk mengetahui pekerjaan apa yang biasa dilakukannya, selain membuat adonan kue dan menjualnya ke warung-warung. Jika aku bertanya karena hendak ingin membantu, ibu selalu mengelak memberitahukannya. Ibu selalu melakukan pekerjaan itu saat aku sedang tidak ada di rumah.

“Ah nampaknya curah hujan mulai menipis. Aku harus segera bersiap,” ujarku melafalkan niat. Nampaknya perlahan Tuhan mulai menarik derasnya air langit yang turun menghujam bumi ini.

Belum sampai kubereskan barang-barangku, tiba-tiba dua dari beberapa orang tadi, yang aku masih mengingat wajah mereka, menghampiriku.

“Mas, kami melihat mas ini sedang gelisah.” Aku terbingung darimana mereka punya anggapan seperti itu. Padahal dari awal, aku tak melihat mereka menoleh bahkan melirikku. “Barangkali mas butuh kehangatan, mari ikut menari bersama kami! Karena hidup bukanlah menunggu badai berlalu, melainkan bagaimana menari dalam hujan.”

Lepas turun dari bus tadi, tak pernah sedikitpun terpikirkan untuk berbasah-basahan, apalagi menari. Jadi, ajakan kedua orang itu kutolak saja. Aku menggelengkan kepala seraya memberitahu mereka bahwa aku tak tertarik.

Mengetahui jawaban itu, mereka kembali bermain-main dengan teman-temannya yang lain, yang kini sedang berlari-lari di seberang jalan. Lalu ketika aku berdiri dan kugendong tas, kulihat orang-orang itu mengakhiri permainannya dan memasuki gang kecil. Sebuah jalan yang kelihatannya hanya cukup untuk dua orang berjalan bersamaan, itu pun berdempetan.

“Di, ternyata kau di sana!”

Aku mendengar teriak seseorang dari kejauhan. Sontak ku menoleh ke arah suara itu berasal. Kufokuskan pandanganku, ternyata itu paman, ia datang dari arah selatan dimana aku sedang berteduh. Dan kumisnya yang tebal menjadi khas pamanku, Paman Karya, Karyadi Primoharjo, yang meski membuatku selalu ingin tertawa melihatnya.

“Di Sathya Khatulistiwa, kau sudah cukup besar pula, ya? Aku tidak ingat kapan kita terakhir bertemu,” ujar Paman Karya setibanya di hadapanku. Ia memulai kehangatan dengan pertanyaan yang aneh.

“Paman ini bagaimana, baru saja sebulan yang lalu aku mengunjungi paman. Masa hari ini sudah lupa?” Pamanku selalu begitu. Aku pikir ia tidak benar-benar lupa, ia hanya ingin mencari sensasi saja dalam dingin ini. Bayangkan saja, ia hanya baru menginjak kepala lima, mana mungkin sudah pikun.

“Dasar keponakanku yang tak punya selera humor. Paman hanya bercanda kau anggap serius,” ujarnya diselingi tawa lebar.

Aku tak menanggapi pernyataan Paman Karya yang tak penting itu. Lantas aku terpikirkan orang-orang yang selama hujan mengguyur tadi, mereka malah bermain-main. Lalu kutanya pamanku untuk melepas rasa penasaran ini. Tentang siapa mereka dan tentang apa yang dilakukannya.

“Paman tidak tahu tentang hal itu, paman baru saja dengar kabar tersebut dari Di.” Paman Karya terkesan menyembunyikan sesuatu. Mana mungkin ia tidak tahu kondisi masyarakat di sini, sedangkan ia adalah Ketua RW.

“Kalau gang itu, apakah paman tahu?” Aku bertanya lagi seraya mengarahkan telunjukku pada gang yang dimasuki orang-orang tadi.

“Gang tersebut bernama Gang Sukatma. Tapi paman belum pernah ke sana.”

“Begitu, ya.. Baiklah,” seruku sambil menghela nafas. “Ini akan menjadi liburan yang panjang.”

“Apa?”

“Tidak.”

“Hmm ya sudah, mari kita beristirahat di rumah paman! Kau terlihat lelah dan basah kuyup,” ajak Paman Karya mengakhiri perbincangan.

“Mari, paman.”

Posted on Jumat, Maret 07, 2014 by Unknown

No comments

Minggu, 19 Januari 2014



Kata Aban, teman saya, dalam sajaknya ia bersyair bahwa pendidikan itu malah menciptakan sekat-sekat. Dan saya setuju dengan pendapatnya. Saya mulai merenungkan kembali kutipan sajaknya itu ketika beberapa menit yang lalu, di perempatan jalan raya, muncul beberapa pembalap motor cross berbaju lusuh, kotor penuh lumpur. Mungkin mereka baru saja menyelesaikan satu trek atau beberapa trek balap.

Lalu, pembalap atau sebutlah atlet motor cross itu dengan polosnya melanggar peraturan lalu lintas. Padahal ratusan pasang mata pengendara lain yang sedang mengantri lampu merah dengan jelas menyaksikan aksi pelanggaran itu.

Bayangkan saja, bagaimana mereka naik ke pembatas jalan yang tingginya sekitar dua puluh sentimeter. Rintangan yang sebenarnya terlalu ringan bagi mereka. Kemudian melaju lagi saat lampu merah masih menyala, padahal kendaraan dari arah berlawanan masih melintas. Itu, kan, berbahaya. Tidak saja bagi diri mereka sendiri, tapi bagi pengendara lain yang berbeda arah.

Saya kira, tak perlu menjadi seorang atlet motor cross untuk berbuat demikian. Saya, dengan motor tuanya pun mampu melakukan aksi begitu. Sama sekali bukan hal yang sulit. Jelas itu pun sangat mudah bagi pengendara lainnya.

Tapi, ini bukan tentang kecemburuan saya mengapa tidak ikut-ikutan melanggar seperti atlet balap tersebut. Ini tentang bagaimana pengendara motor yang punya pendidikan motor cross lebih tinggi merasa unggul dari pengendara lain yang pendidikannya masih di bawah mereka. Tanpa beban mereka mengabaikan rintangan kecil berupa pembatas jalan, dan menerobos laju kendaraan dari arah berlawanan. Mereka menyekatkan diri untuk tidak ikut mengantri lampu merah seperti pengendara lain. Mungkin dalam hatinya mereka berkata begini, “Kami tak perlu ikut nyampur bersama kalian. Kami, kan, lebih berpendidikan. Lihat, kami bisa melakukan ini.”

Oke, contoh kecil itu kiranya dapat mewakili bagaimana realita ini terjadi di sekitar kita. Tak perlu memandang jauh-jauh sampai kepada para pemerintah, wakil rakyat, atau, mungkin dan, para pejabat lainnya yang menghindarkan diri dari pergaulan bersama rakyatnya dan dalam hatinya berkata, “Gue, kan, atasan. Loe siapa? Bisanya cuma protes.” Cobalah lihat di lingkungan sekitar. Kalau saja lebih peka, begitu banyak peristiwa seperti ini terjadi. Mungkin bagaimana seorang rektor lebih memilih diam saja di kantor sambil menunggu para tamunya dengan bermain twitter, daripada menjenguk para mahasiswanya yang sedang kuliah atau yang sedang nongkrong. Atau, bagaimana teman kita yang lebih berpendidikan dalam berorasi lebih memilih berkumpul dengan temannya lagi yang sama-sama berpendidikan. Mereka mungkin tak berpikir bagaimana renyuh hati teman yang lainnya lagi, ingin berpendidikan pula.

Jadi, ada realita seperti ini. Yang ini dengan yang ini. Yang itu dengan yang itu. Yang begini tidak dengan yang begitu. Dan yang seperti ini tidak dengan yang seperti demikian. Semuanya membentuk partisi-partisi yang menyekat kebersamaan dan toleransi di antara satu sama lain. Dan semuanya, lebih disebabkan karena perbedaan kemahiran atau tingkatan pendidikan.

Saya pun bingung saat melihat bagaimana seorang Ibu Ani lebih memilih berkumpul bersama pengguna Instagram di dunia maya daripada berkumpul bersama rakyatnya yang terkena bencana banjir. Padahal di sana beliau malah berselisih. Dan ketika disinggung tentang hal itu, beliau malah menjawab, “Tanyakan saja pada Ibu Jokowi dan Ibu Ahok.” Lho¸ koq begitu jawabannya? Kalau boleh saya menerka alasannya, mungkin karena beliau sering berkumpul dan asyik bermain bersama pengguna Instagram, beliau jadi lupa, kalau banjir itu tidak hanya di Jakarta. Ada pula di Manado dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Mungkin kesimpulannya seperti ini, tidak enak ah membicarakan ibu negara, bahwasanya dalam pergaulan, bergaul-lah dengan siapa saja. Tak perlu melihat siapa aku dan siapa engkau, siapa saya dan siapa anda, siapa gue dan siapa loe. Dunia ini tidak diciptakan dengan satu jenis ciptaan. Jadi, berbaurlah dengan siapa saja. Yang pintar bercampur dengan yang belum pintar. Yang baik bergaul dengan yang belum baik. Asal, kuncinya begini: Berpartisipasi tapi tidak terkontaminasi.

Posted on Minggu, Januari 19, 2014 by Unknown

No comments

Selasa, 07 Januari 2014

Sabtu kemarin, saya sedikit terperangah saat melihat seonggok banci muncul di pojokan tempat orang-orang berkumpul. Di alun-alun kota, Ciamis. Meski agak takut, saya kaget bukan karena itu. Saya lebih dikagetkan pada apa yang dia lakukan saat itu. Dia, yang adalah seorang pria, menari bak cacing kepanasan. Saya tak bermaksud menjelekkan, tapi itu kenyataan. Dengan dandanan pula yang melebihi kapasitas seorang wanita biasa, dia tampak percaya diri. Entah apa yang menjadi motivasinya, yang pasti itu masalah ekonomi.

Mengapa ekonomi? Yap. Karena mereka adalah manusia yang terhimpit dalam jeratan kehidupan. Kalaupun perilaku itu disebabkan permasalahan kelainan hormon atau gangguan jiwa, itu bisa saja. Namun, saya kira itu masalah adami. Itu sebuah naturalitas nan alamiah. Saya lebih tertarik untuk mengurainya dari tataran ekonomi.

Oke. Mungkin sedikit bisa dimaklumi lah, kalau jeratan itu berupa kebutuhan pokok. Kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi, urusannya dengan nyawa. Tapi bagaimana urusannya kalau itu masalah kebutuhan tersier. Sebuah permasalahan dengan kemewahan, kebobrokan perilaku yang sudah terjadi pada banyak wilayah di negeri ini. Menjadi banci agar bisa membeli smartphone. Menjadi banci supaya bisa membeli motor. Menjadi banci untuk memenuhi hasrat kemewahan yang dia punya. Tragis juga, bukan?

Sebenarnya, saya tak berniat apa-apa dengan menulis tentang banci. Saya hanya prihatin pada realita di negeri ini. Padahal saya kira, masyarakat sudah kenyang terhadap kemiskinan. Namun entah kenapa, petinggi negeri ini nampak tak bergeming pada realita yang terjadi. Lihat bagaimana seorang pria, mendadak jadi banci hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perlu pengorbanan besar untuk berperilaku demikian. Dan banci itu bukan wanita. Banci adalah wanita jadi-jadian. Bagaimana seorang pria ingin berubah wujud menjadi wanita, namun kelebihan sampai encer. Maka pada saat yang demikianlah seorang banci melenggak-lenggok seperti rangkaian tulang lunak, dan berdandan seperti lukisan abstrak.

Kemiskinan di negara ini, sudah sampai pada taraf kamerkaan. Masa dimana proses kekenyangan telah terlewati hingga batas tertinggi, dan meletus. Perut terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk pedang milik Kenji Samurai X dan keris punya Ki Joko Bodo.

Saya anggap pemerintah tahu akan hal ini dengan menekan Pertamina agar menurunkan harga gas elpiji. Dan dorongan itu secara khusus disampaikan pula oleh Pak SBY lewat jejaring Twitter. Terima kasih telah menurunkan harga gas elpiji yang sudah naik Rp. 3500 rupiah hingga turun menjadi Rp. 1000. Malah, saya kemudian terharu saat beliau mengkritik kebijakan Pertamina untuk membela rakyat Indonesia. Lewat akunnya @SBYudhoyono, beliau berkata, “Arahan saya: Jangan sampai meningkatkan inflasi dan membebani rakyat.”

Dan, bukannya tak peduli, urusan kerugian Pertamina sekitar Rp. 7 Trilyun itu masalah mereka. Masalah uang sebanyak itu sepertinya tak layak untuk kami urusi. Kami hanyalah rakyat kecil yang mengurusi uang-uang kecil. Dan uang-uang besar, diurusi oleh rakyat yang juga besar. Bukankah begitu? Saya kira, banci pun berpikiran demikian.

Posted on Selasa, Januari 07, 2014 by Unknown

No comments