Minggu, 19 Januari 2014



Kata Aban, teman saya, dalam sajaknya ia bersyair bahwa pendidikan itu malah menciptakan sekat-sekat. Dan saya setuju dengan pendapatnya. Saya mulai merenungkan kembali kutipan sajaknya itu ketika beberapa menit yang lalu, di perempatan jalan raya, muncul beberapa pembalap motor cross berbaju lusuh, kotor penuh lumpur. Mungkin mereka baru saja menyelesaikan satu trek atau beberapa trek balap.

Lalu, pembalap atau sebutlah atlet motor cross itu dengan polosnya melanggar peraturan lalu lintas. Padahal ratusan pasang mata pengendara lain yang sedang mengantri lampu merah dengan jelas menyaksikan aksi pelanggaran itu.

Bayangkan saja, bagaimana mereka naik ke pembatas jalan yang tingginya sekitar dua puluh sentimeter. Rintangan yang sebenarnya terlalu ringan bagi mereka. Kemudian melaju lagi saat lampu merah masih menyala, padahal kendaraan dari arah berlawanan masih melintas. Itu, kan, berbahaya. Tidak saja bagi diri mereka sendiri, tapi bagi pengendara lain yang berbeda arah.

Saya kira, tak perlu menjadi seorang atlet motor cross untuk berbuat demikian. Saya, dengan motor tuanya pun mampu melakukan aksi begitu. Sama sekali bukan hal yang sulit. Jelas itu pun sangat mudah bagi pengendara lainnya.

Tapi, ini bukan tentang kecemburuan saya mengapa tidak ikut-ikutan melanggar seperti atlet balap tersebut. Ini tentang bagaimana pengendara motor yang punya pendidikan motor cross lebih tinggi merasa unggul dari pengendara lain yang pendidikannya masih di bawah mereka. Tanpa beban mereka mengabaikan rintangan kecil berupa pembatas jalan, dan menerobos laju kendaraan dari arah berlawanan. Mereka menyekatkan diri untuk tidak ikut mengantri lampu merah seperti pengendara lain. Mungkin dalam hatinya mereka berkata begini, “Kami tak perlu ikut nyampur bersama kalian. Kami, kan, lebih berpendidikan. Lihat, kami bisa melakukan ini.”

Oke, contoh kecil itu kiranya dapat mewakili bagaimana realita ini terjadi di sekitar kita. Tak perlu memandang jauh-jauh sampai kepada para pemerintah, wakil rakyat, atau, mungkin dan, para pejabat lainnya yang menghindarkan diri dari pergaulan bersama rakyatnya dan dalam hatinya berkata, “Gue, kan, atasan. Loe siapa? Bisanya cuma protes.” Cobalah lihat di lingkungan sekitar. Kalau saja lebih peka, begitu banyak peristiwa seperti ini terjadi. Mungkin bagaimana seorang rektor lebih memilih diam saja di kantor sambil menunggu para tamunya dengan bermain twitter, daripada menjenguk para mahasiswanya yang sedang kuliah atau yang sedang nongkrong. Atau, bagaimana teman kita yang lebih berpendidikan dalam berorasi lebih memilih berkumpul dengan temannya lagi yang sama-sama berpendidikan. Mereka mungkin tak berpikir bagaimana renyuh hati teman yang lainnya lagi, ingin berpendidikan pula.

Jadi, ada realita seperti ini. Yang ini dengan yang ini. Yang itu dengan yang itu. Yang begini tidak dengan yang begitu. Dan yang seperti ini tidak dengan yang seperti demikian. Semuanya membentuk partisi-partisi yang menyekat kebersamaan dan toleransi di antara satu sama lain. Dan semuanya, lebih disebabkan karena perbedaan kemahiran atau tingkatan pendidikan.

Saya pun bingung saat melihat bagaimana seorang Ibu Ani lebih memilih berkumpul bersama pengguna Instagram di dunia maya daripada berkumpul bersama rakyatnya yang terkena bencana banjir. Padahal di sana beliau malah berselisih. Dan ketika disinggung tentang hal itu, beliau malah menjawab, “Tanyakan saja pada Ibu Jokowi dan Ibu Ahok.” Lho¸ koq begitu jawabannya? Kalau boleh saya menerka alasannya, mungkin karena beliau sering berkumpul dan asyik bermain bersama pengguna Instagram, beliau jadi lupa, kalau banjir itu tidak hanya di Jakarta. Ada pula di Manado dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Mungkin kesimpulannya seperti ini, tidak enak ah membicarakan ibu negara, bahwasanya dalam pergaulan, bergaul-lah dengan siapa saja. Tak perlu melihat siapa aku dan siapa engkau, siapa saya dan siapa anda, siapa gue dan siapa loe. Dunia ini tidak diciptakan dengan satu jenis ciptaan. Jadi, berbaurlah dengan siapa saja. Yang pintar bercampur dengan yang belum pintar. Yang baik bergaul dengan yang belum baik. Asal, kuncinya begini: Berpartisipasi tapi tidak terkontaminasi.

Posted on Minggu, Januari 19, 2014 by Unknown

No comments

Selasa, 07 Januari 2014

Sabtu kemarin, saya sedikit terperangah saat melihat seonggok banci muncul di pojokan tempat orang-orang berkumpul. Di alun-alun kota, Ciamis. Meski agak takut, saya kaget bukan karena itu. Saya lebih dikagetkan pada apa yang dia lakukan saat itu. Dia, yang adalah seorang pria, menari bak cacing kepanasan. Saya tak bermaksud menjelekkan, tapi itu kenyataan. Dengan dandanan pula yang melebihi kapasitas seorang wanita biasa, dia tampak percaya diri. Entah apa yang menjadi motivasinya, yang pasti itu masalah ekonomi.

Mengapa ekonomi? Yap. Karena mereka adalah manusia yang terhimpit dalam jeratan kehidupan. Kalaupun perilaku itu disebabkan permasalahan kelainan hormon atau gangguan jiwa, itu bisa saja. Namun, saya kira itu masalah adami. Itu sebuah naturalitas nan alamiah. Saya lebih tertarik untuk mengurainya dari tataran ekonomi.

Oke. Mungkin sedikit bisa dimaklumi lah, kalau jeratan itu berupa kebutuhan pokok. Kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi, urusannya dengan nyawa. Tapi bagaimana urusannya kalau itu masalah kebutuhan tersier. Sebuah permasalahan dengan kemewahan, kebobrokan perilaku yang sudah terjadi pada banyak wilayah di negeri ini. Menjadi banci agar bisa membeli smartphone. Menjadi banci supaya bisa membeli motor. Menjadi banci untuk memenuhi hasrat kemewahan yang dia punya. Tragis juga, bukan?

Sebenarnya, saya tak berniat apa-apa dengan menulis tentang banci. Saya hanya prihatin pada realita di negeri ini. Padahal saya kira, masyarakat sudah kenyang terhadap kemiskinan. Namun entah kenapa, petinggi negeri ini nampak tak bergeming pada realita yang terjadi. Lihat bagaimana seorang pria, mendadak jadi banci hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perlu pengorbanan besar untuk berperilaku demikian. Dan banci itu bukan wanita. Banci adalah wanita jadi-jadian. Bagaimana seorang pria ingin berubah wujud menjadi wanita, namun kelebihan sampai encer. Maka pada saat yang demikianlah seorang banci melenggak-lenggok seperti rangkaian tulang lunak, dan berdandan seperti lukisan abstrak.

Kemiskinan di negara ini, sudah sampai pada taraf kamerkaan. Masa dimana proses kekenyangan telah terlewati hingga batas tertinggi, dan meletus. Perut terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk pedang milik Kenji Samurai X dan keris punya Ki Joko Bodo.

Saya anggap pemerintah tahu akan hal ini dengan menekan Pertamina agar menurunkan harga gas elpiji. Dan dorongan itu secara khusus disampaikan pula oleh Pak SBY lewat jejaring Twitter. Terima kasih telah menurunkan harga gas elpiji yang sudah naik Rp. 3500 rupiah hingga turun menjadi Rp. 1000. Malah, saya kemudian terharu saat beliau mengkritik kebijakan Pertamina untuk membela rakyat Indonesia. Lewat akunnya @SBYudhoyono, beliau berkata, “Arahan saya: Jangan sampai meningkatkan inflasi dan membebani rakyat.”

Dan, bukannya tak peduli, urusan kerugian Pertamina sekitar Rp. 7 Trilyun itu masalah mereka. Masalah uang sebanyak itu sepertinya tak layak untuk kami urusi. Kami hanyalah rakyat kecil yang mengurusi uang-uang kecil. Dan uang-uang besar, diurusi oleh rakyat yang juga besar. Bukankah begitu? Saya kira, banci pun berpikiran demikian.

Posted on Selasa, Januari 07, 2014 by Unknown

No comments