Jumat, 23 Mei 2014



Futurolog pada abad 20, semisal John Naisbith dan Alvin Toffler dalam The Three Wave dan Megatrend 2000, telah meramalkan bahwasanya abad 21 adalah abad spiritualitas. Dan itu benar terjadi, kini umat manusia berbondong-bondong kembali pada spirit atau fitrah mereka. Hal ini terbukti dari, salah satunya, dunia perfilman yang semakin sering mengangkat isu-isu spiritual atau religi.

Dulu, tren film di Indonesia adalah seks, kekerasan, dan horror. Tapi kini masyarakat lebih memilih film-film yang bernilai spiritualitas, sejarah, atau bahkan dokumenter. Inilah yang mesti Umat Islam tangkap untuk dikembangkan.

Dakwah Islam bukanlah gerakan dakwah yang terbatas pada pemanfaatan kualitas individu untuk menyampaikan dakwah melalui mimbar saja. Pemanfaatan ranah perfilman, merupakan cara yang cukup efektif falam membangun kesadaran Islami.

Sebagian film religi, memang, seringkali menimbulkan perdebatan. Hal ini didasarkan pada pesan yang disampaikan tidak sejalan dengan kondisi pemahaman masyarakat secara umum. Oleh karena demikian, perlulah sebuah film itu mengangkat nilai Islam yang universal, agar tak malah menjadi biang daripada perselisihan.

Pesan yang universal dapat dilihat dari kadar wacana yang dikembangkan dalam film tersebut. Ambil contoh, pesan-pesan humanis. Bagaimana seseorang itu saling membantu satu sama lain dalam berbagai kesusahan. Atau, bagaimana sebuah kelompok menghindari perselisihan atas dasar kerukunan bersama.

Nah, di balik pesan universal, ada pesan yang sifatnya parsial. Diantaranya, bagaimana pelaksanaan ibadah satu mazhab fikih ditekankan dalam satu film. Pesan semacam inilah yang mesti dihindari untuk disampaikan kepada khalayak umum. Hal ini ditujukan agar tak terjadi keberpihakan sebuah film terhadap satu mazhab, sehingga akhirnya menimbulkan perselisihan.

Terlepas dari berbagai bentuk pesan ini, satu hal yang lebih penting adalah berkarya. Umat Islam, terkhusus para pemuda, diharapkan ketika berkarya, condongkanlah karya itu kepada nilai-nilai dakwah. Agar, khazanah Islam itu tidak kering, penuh dengan pembaharuan dan kreatifitas.

Selain daripada itu, bukankah seringkali kita berkomentar atas film-film yang tak sarat akan nilai? Nah, daripada kita hanya berkomentar, lebih baik kita balas melalui karya berbentuk film. Bukankah itu ciri daripada sikap intelektual?

***

Posted on Jumat, Mei 23, 2014 by Unknown

No comments



Ini merupakan catatan secangkir kopi lainnya. Lebih tepat lagi, kopi dingin yang sudah hampir habis. Tak seperti dinamika politik kita yang tak akan pernah habis, saya kira.

Sebelum lebih jauh, mari sedikit bernostalgia pada kurun waktu enam belas tahun yang lalu. Waktu itu, jala republik ini digetarkan oleh bola yang ditendang oleh para mahasiswa, aktivis revolusi. Bagaimana gairah terbebas daripada belenggu penyanderaan politik begitu membara. Sampai pada akhirnya, jala terbakar oleh bola api yang berkobar.

Cita-cita pada waktu itu cukup sederhana. Hanya butuh perubahan, istilahnya reformasi. Ya.. reformasi politik lah, reformasi ekonomi lah. Sebagaimana yang ditulis Bapak Reformasi, Amin Rais, bahwa semangat kami tak akan pernah padam. Hal itu ditulisnya, dalam Ini Adalah Skenario dari Allah.

Kini, alih-alih lebih baik, semangat reformasi malah terasa menjadi hambar. Pengusungan nilai-nilai kebebasan terlalu kebablasan. Tak ada bentuk pengawasan yang nyata daripada pengais suara bangsa ini. Keterbukaan menjadi tabu. Akhirnya penyelewengan wewenang terjadi dimana-mana.

Bila boleh berandai-andai, Indonesia masih belum pantas untuk terbebas dari jeratan keterkerdilan di masa orde baru. Bangsanya masih perlu dipapah untuk sekedar berjalan. Belum terlihat yang namanya kemandirian berpikir untuk menjauhkan diri dari kepentingan pribadi atau segelintir orang.

Benar sekali apa yang dikatakan saudara saya di sebelah sana. Bahwa alat perang kini bukanlah senjata berisi peluru, tapi media massa. Masing-masing individu atau kelompok, bukannya membangun kebersamaan, malah berperang.

Pilu ketika melihat bagaimana kecenderungan berpikir masyarakat ini dipermainkan oleh orang-orang di balik senjata itu. Bagaimana opini publik dilempar ke sana kemari tanpa perasaan bersalah.

Tapi kini bukanlah saatnya untuk merenungi kesalahan. Sudah cukup terlalu lama kita merenung di kedalaman realita. Sekarang adalah saatnya untuk memperbaiki kesalahan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki hal-hal yang belum baik. Cahaya reformasi masih berpendar di ujung ruang gelap ini.

***

Posted on Jumat, Mei 23, 2014 by Unknown

1 comment

Jumat, 16 Mei 2014


Nomor Tidak Dikenal
Malam nampak sedang marah. Langit dunia legam tanpa bintang. Hanya awan, saling beriringan dalam buaian angin di angkasa. Dan Sari, mungkin masih ketakutan atas marahnya malam, soalnya ia belum tidur. Ia sendiri, terduduk lesu di atas kursi kayu, di antara dua kursi lainnya yang mengitari meja kayu bundar.

Tepat di malam itu pada sembilan tahun yang lalu, ketika Satya masih berusia sepuluh tahun, Sari ditinggal suaminya. Ayah Satya ini, Hamid, wafat dalam pelukan Sari. Hamid sakit paru-paru basah karena terlalu banyak merokok, itu kata tabib di kampungnya. Jelas bendungan air mata Sari pecah malam itu pula. Bahkan ia sampai tidak sadarkan diri sesaat setelah Hamid berhenti bernapas. Kebersamaannya bersama Hamid, harus berakhir karena batang-batang rokok.

“Satya, semoga kamu tidak mengikuti jejak ayahmu yang buruk itu.” Sari berharap dalam benaknya.

Di atas meja, ponsel Sari bergetar. Dilihatnya, ternyata ada pesan dari Satya.

Bu, ibu belum tidur? Aku tiba-tiba terbangun. Baru saja aku bermimpi bertemu dengan ayah. Aku merindukannya, bu. – Ucap Satya dalam pesan singkatnya.

Sari terkejut. Baru saja ia memikirkan putra bungsunya, tiba-tiba ada kiriman pesan dari anaknya itu. Mungkin ini yang dinamakan kesatuan jiwa seorang ibu dan anaknya. Raganya terpisah, tapi ruhnya bersatu.

Sudahlah, nak. Lagipula itu hanya mimpi. Segeralah tidur kembali.. – Sari menjawab pesan itu dengan singkat.

Berselang beberapa menit, ponsel Sari bergetar kembali. Kali ini Satya mencoba menelepon. Mungkin ia tak puas dengan jawaban ibunya yang singkat itu.

Namun sayang, Sari enggan menjawab panggilan itu. Ia biarkan saja bergetar. Malah Sari bergegas berdiri dan pergi berlalu meninggalkan beranda rumahnya itu. Ia pergi ke dapur untuk menyeduh segelas hangat teh manis. Sedangkan, ponselnya terus bergetar.

Setibanya dari dapur, Sari duduk kembali di kursi yang berbeda dengan tempat duduknya yang pertama. Ia taruh gelas teh-nya lalu melihat ke layar ponsel. “Wah, ada lima kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan. Padahal di dapur aku tidak lama,” gerutunya pada angin malam.

Lalu diambilnya ponsel itu. Dilihatnya, ada empat kali panggilan dari Satya dan satu nomor tidak dikenal. “Nomor siapa ini?” Pikirnya santai, “Ah paling orang salah sambung.”

Sari pun menyimpan kembali ponselnya dan mulai menyeruput teh.

“Sebentar, perasaan tadi ada SMS.” Sari mengambil lagi ponselnya dan membuka pesan itu.

Lihat ke arah utara! Aku berada di balik pohon beringin. – Pesan orang di balik nomor tidak dikenal itu.

Sontak Sari kaget. Ia terperanjak hingga kursi yang didudukinya terjatuh. Bahkan, tak sengaja ia menyenggol meja sampai gelas teh yang disimpan di atasnya terjatuh ke lantai dan pecah. Ia kemudian berlari ke dalam rumah. Lalu Sari bersembunyi di balik pintu depan yang telah ia tutup dan kunci. Jantungnya berdebar kencang. Benaknya kacau. Ia terpikirkan berbagai hal.

Sari bingung mau kemana. Ia hanya bisa berdiri di balik pintu, menjaga agar tidak ada siapapun masuk. Detik jam dinding terasa begitu bersuara kencang. Tik tok tik tok di ruang tamu yang hening membisu.

Sari mulai menangis. Ia kalut. Sari berharap ada Hamid di sampingnya sekarang. Tapi itu hanya angan-angan kosong, tak mungkin dapat terjadi. Lalu Sari mencoba menelepon Hamid. Namun sayang, sepertinya ponsel Hamid mati. Di balik ponselnya, Sari hanya mendengar suara perempuan bersuara lembut yang mengatakan, “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif dan berada di luar jangkauan.”

Sari sudah kehilangan asa. Saking takutnya, tubuh Sari perlahan melemah. Ia terkulai lemas di balik pintu. Ia merasakan pusing yang sangat. Pandangannya mulai kabur. Ruang tamu seakan berputar-putar dalam benaknya. Dan jam dinding seperti sedang menertawakannya.

Akhirnya, Sari tergeletak di lantai dan pingsan.

***

Posted on Jumat, Mei 16, 2014 by Unknown

1 comment

Senin, 12 Mei 2014

Ia berteriak selepas membukakan mata dari lelap tidurnya. Satya terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpi, ia terdampar dalam sebuah ruangan bercat putih. Nampak jelas berbentuk kubus, dan tak berjendela maupun pintu. Ruangan polos, tembok yang rata, dan, tak ada apapun di sana.

Sela ia menghela napas, perlahan tembok itu mulai mendekatinya. Tiap sisinya bergeser. Samping kanan, kiri, atas, depan, kecuali belakang dan bawah, bergeser menyempit. Satya teraneh-aneh dan mulai ketakutan.
Semakin menyempit, tembok-tembok itu tiba-tiba berhenti bergeser. Satya mulai tenang.

Diambilnya napas panjang, “Huh.” Dan Satya menutup matanya.

Lepas ia membuka matanya kembali, ruangan nampak benar-benar sempit. Hanya jarak satu meter ke depan, satu meter ke samping. Pokoknya semua sisi berjarak sama. Satya kaget dan kebingungan. Malah menjadi takut karena tembok itu semakin mendekat.

Kini tembok mulai menyentuh tubuh Satya. Bahu Satya menyentuh tembok. Begitupun kepalanya. Kini ia terhimpit dalam sebuah kotak kecil. Sedangkan Satya hanya bisa terduduk jongkok dalam kotak itu.

Ia semakin resah. Namun semakin ia resah, tembok itu malah terasa semakin menghimpit. Satya sudah hampir kehilangan asa. ia merasa akan remuk. Terhimpit dalam kotak yang terasa makin kecil itu.

Satya mulai memasukkan kepalanya di antara kedua lutut kakinya. Ia tertunduk dalam himpitan yang semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar kehilangan asa untuk hidup. Tubuhnya mulai terasa sakit karena tembok itu benar-benar menekan tubuh  Satya.

Dalam kegelisahan yang berakhir kesakitan itu, Satya tak sadar, kalau sejak awal ia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tapi wajar, karena ruangan itu nampak seperti hampa udara, jadi Satya tidak merasa dingin, walau ia tetap bisa bernafas.

Sekarang yang jadi masalah, Satya tak tahu mesti berbuat apa-apa. Ia pasrah pada apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Ia sudah rela kalau-kalau badannya remuk terhimpit dalam ruangan yang sudah tak menyerupai ruangan. Satya merasa seperti ada dalam sebuah kotak besi yang terkunci. Mematung tak bisa bergerak.

“Satya!” Ia mendengar suara orang memanggilnya. “Satya!”

Ia kembali mendengar panggilan itu untuk ketiga kalinya, “Satya!”

Satya menatap ke depan. Ia mengangkat wajahnya dan membuka mata.

Ia kaget. Satya terlempar beberapa sentimeter ke belakang. Ia melihat sebuah wajah dalam gelapnya ruangan itu. Mata, hidung, bibir, pipi, dan sebagian keningnya terlihat jelas karena bantuan cahaya lilin.

“Satya, kenapa kamu?”

Satya tak menjawab.

“Ini paman. Ada apa kamu teriak-teriak tengah malam begini?”

“Paman?”

“Untungnya Hafiya kebluk. Jadi dia tidak terbangun, walau dia tidur di sampingmu.”

“Aku bermimpi aneh, paman.”

Satya mulai menceritakan mimpinya. Dari awal sejak ia terdampar dalam ruangan putih hingga ia terhimpit.

“Tenang, kau cuma bermimpi.”

“Tapi aku takut. Dan parahnya aku tak bisa berbuat apa-apa.”

“Satya, sebenarnya kau bisa berbuat apa-apa. Kau hanya berada dalam tekanan saja, hingga kau merasa tak berkutik. Padahal kau tak tahu apa yang akan terjadi kalau kau bergerak dan mencari penyelesaian.”

“Iya, paman, memang begitu. Tapi bagaimana lagi? Aku benar-benar merasa lemah dan begitu ketakutan.”

“Sudahlah. Itu hanya perasaan. Lagipula itu hanya mimpi.”

Satya menganggukan kepalanya dan mulai menata kembali tempat tidurnya untuk berbaring. Sementara paman Karya, meninggalkan kamar sembari meniup lilin. Pintu pun ditutup, dan kamar kembali gelap.


Posted on Senin, Mei 12, 2014 by Unknown

No comments