Senin, 27 Juli 2015

Ilustrasi oleh @sayapayam (Dinda Ahlul Latifah)

Malam yang penuh luka lagi. Pukul dua menjadi titik balik lagi. Setelah bertahun-tahun, bayangan itu muncul lagi dan lagi. Jika ibaratnya ada sebuah lubang, aku menjatuhkan diri ke dalamnya berkali-kali. Sebenarnya aku tidak mau melompat, tetapi memasuki lubang tersebut sungguh menyenangkan. Aku sering membayangkan bahwa dasar dari lubang itu adalah langit. Maka ketika aku melompat ke dalamnya, aku melompat ke langit. Begitulah seperti burung-burung walet terbang sirkular dalam pilinan jalur sutera yang diciptakannya. Jalur yang secara nyata tidak terlihat, hanya ada pada imajinasi burung-burung tersebut.

Aku seperti burung walet itu. Terbang sirkular dalam imajinasi-imajinasi yang aku ciptakan sendiri. Berputar-putar terus tanpa tahu dimana akhirnya.

Akhirnya aku terjatuh lagi ke dalam lubang tadi. Setelah aku sadar bahwa aku hanya sedang berimajinasi, tubuhku terasa sakit. Sakitnya minta ampun. Sakitnya tak hanya di sekujur tubuh tetapi juga melibatkan pikiran dan perasaanku. Aku setelahnya hanya bisa mengantuk, menginginkan tidur yang cukup untuk mengembalikan kesegaranku semula.

Jam sudah maju empat angka. Satu dua tiga empat. Jarum panjang mengarah hampir tepat di jantung angka empat dalam deretan angka yang melingkar membentuk lingkaran sempurna. Lingkaran sempurna adalah lingkaran yang menghasilkan efek semangat yang menggebu-gebu, mengejawantahkan rasa ke dalam setoples air susu. Air yang sebenarnya sudah basi. Lima hari tidak diminum, hanya disimpan sembarang di rak tempat biasanya makanan-makanan untuk sarapan dan menjelang tidur disiapkan.

“Hira, maukah kau jerang air susu itu di atas perapian dan kau mengawasinya selama aku pergi ke tempat penjual sayur?”

“Baiklah, Maya. Hati-hati, cuaca masih sangat dingin bahkan matahari sama sekali belum menjelang.”

Aku melihat siluet punggung Maya berjalan pelan menuju pintu yang sudah terbuka. Sebelum menapakkan langkahnya di luar garis pintu, Maya membalikkan badannya. Kutangkap ekor matanya yang hitam dan kemerah-merahan karena pedar cahaya lampu pijar tegangan kecil mengarah padaku. Wajahnya merayu. Maya tersenyum tipis. Dari kejauhan bibirnya terasa hangat dan begitu merah. Lembap. Menyampaikan getaran perasaannya dengan radiasi yang bertenaga.

Maya lalu memalingkan tubuhnya kembali seraya menutup pintu.

Ia sangat indah. Maya menawanku ke dalam pelukan cintanya yang mendesir halus sebagaimana angin di pantai. Maya menjadikanku tawanan cintanya di saat yang tepat, meski banyak orang bilang tidak. Aku tertawan oleh Maya saat ia masih seranjang dengan suaminya yang sah.

***

Di bawah temaram lampu pijar yang bercahaya merah kekuning-kuningan, sebuah rumah bilik di ujung setapak itu tentu akan menjadi sorotan siapapun. Rumahnya Maya. Rumah yang kontras dengan warna gelap langit menjadi layaknya ornamen lampu hias di pasar malam yang biasa dihelat satu tahun sekali di alun-alun dekat balai desa. Karena tak ada lampu jalanan di desa ini, maka malam-malam biasanya diramaikan kerlap-kerlip bintang dan cahaya rembulan. Rumah bilik itu, yang berdiri di batas hamparan sawah kering, berkamuflase menjadi semacam pos jaga.

Keadaan semacam itu yang sebenarnya membuat warga desa tak pernah melewati setapak ini. Tapi ini jalan pintas menuju rumahku. Bapakku di rumah sendirian sedang terbaring sakit. Menungguku membawakan herbal yang aku dapatkan dari desa sebelah. Menurut tabib, obat itu tidak boleh terkena sinar matahari. Hal itu dapat mengurangi khasiat yang terdapat pada obat itu.

Sudah berjam-jam aku meninggalkannya di rumah. Maka tak pantas aku berlama-lama berjalan lewat jalan yang lebih ramai dengan bangunan-bangunan rumah padahal jarak tempuhnya lebih lama. Lagipula tak ada gunanya.

Selepas melewati setapak di antara hamparan sawah, tibalah aku mendekati rumah bilik tadi. Di sana, secara tidak sengaja aku mendengarkan erangan-erangan kecil. Suara-suara itu bercampur baur dengan desir angin malam dan siulan-siulan jangkrik. Kulihat, jendela rumahnya sedikit terbuka.
Aku tak tahu, mengapa bukan melanjutkan perjalanan, kaki-kaki ini lantas membawaku terus bergerak mendekati rumah itu. Setiba di balik jendela, kulihat dengan begitu jelas punggung seorang perempuan yang tak dilapisi sehelai kain pun. Hanya ada dua buah tangan sedang melingkar di balik leher dan pinggangnya. Pelukannya nampak begitu erat mendekap perempuan itu. Maya. Dan aku juga tahu itu tangan siapa. Margana. Anak kepala desa, suami Maya.

Sebelum mereka merasakan kehadiranku, aku tersadar bahwa aku harus bergegas pergi. Kuayunkan beberapa langkah kecil ke belakang dan segera membalikkan badan dan pergi. Aku sampai lupa, Bapak sedang menungguku di rumah.

***

Usia Maya denganku terpaut lima tahun. Aku lebih muda daripadanya. Meski begitu, lukisan wajahku membuat aku terlihat lebih tua dari Maya. Hal ini jelas terlihat pada sebingkai fotoku dan Maya yang berdiri tegak di atas meja makan ini. Foto yang diambil dengan sengaja di studio foto di kota sebelah yang lebih kurang berjarak tiga jam dari desa ini.

***

Entah kenapa jalan takdirnya bisa seperti ini. Bapak tak kunjung sembuh dari penyakit yang menderanya. Sudah lebih dari setengah tahun rutin aku meminumkan obat herbal. Makin hari aku makin menyerah dan putus asa atas masa depan Bapakku. Aku merasa apa yang aku lakukan hanya berakhir sia-sia dan aku makin tak rela melihat kondisinya yang seperti itu.

Tapi satu hal yang membuatku tak berhenti memberi Bapak obat ialah perjalananku melintasi rumah Maya. Aku selalu melintasi jalan setapak itu untuk sengaja melewati rumahnya. Meski kejadiannya memang tak selalu sama. Terkadang jendelanya tertutup dan hanya terdengar suaranya. Pernah juga seperti tidak ada orang sama sekali di rumah itu. Bahkan pernah juga jendela itu terbuka lebar dan aku sengaja bersembunyi mengintip di balik pohon. Entah apakah mereka merasa atau tidak, aku rutin melakukan kegiatan pengintaian ini.

Segala sesuatu pasti ada masanya harus berakhir. Rutinitasku pun sama. Suatu saat aku mengendap-endap di dekat selah-selah jendelanya yang dengan pelit terbuka sedikit sekali. Tak lama aku langsung dikagetkan suara langkah-langkah kaki yang gontai mendekat. Lantai kayu dan hening malam membuat suara langkahnya terdengar tegas. Lantas tiada jalan lain selain bergegas melompat ke balik semak belukar yang menjulang tinggi. Aku pikir seseorang tidak akan berani mencariku ke sana saat malam-malam.

Derap langkah kaki itu akhirnya berhenti. Tampak siluet seorang perempuan berdiri di depan pintu rumah.

“Hira, aku tahu itu kau. Suamiku yang bodoh jelas takkan menyadari kehadiranmu sejak pertama kali kau berkunjung kemari di malam itu. Kurang lebih sekitar setengah tahun yang lalu. Saat ini, suamiku sedang tidak ada di rumah. Ia dikirim ayahnya ke pelatihan wirausahawan muda desa di kota dan akan pulang dua hari lagi,” ucap Maya setengah berteriak. “Aku tak yakin kau akan lebih memilih bersembunyi di balik semak-semak itu daripada tidur bersamaku malam ini.”

Ya, kalimat terakhir itu yang pada akhirnya membuat Maya kini menjadi istri yang sah bagiku. Semuanya berawal dari hubungan gelap Maya denganku. Hubungan tak resmi yang sepertinya begitu Maya nikmati. Kemudian kabar itu mencuat menjadi kabar burung. Orang-orang berdesas-desus tentang kehidupanku dengan Maya. Malah sampai aku disidang di balai desa. Tapi sayang mereka tak punya bukti dan aku dibebaskan kembali. Hingga pada akhirnya aku tertangkap basah, dan hampir-hampir mati dipukuli warga.

Kini aku bertanggung jawab atas perbuatanku. Maya kunikahi kurang lebih seminggu setelah kejadian terakhir. Dan yang paling kuherankan, ia bersikap seratus delapan puluh derajat dari yang aku kenal dulu sebelum menikahinya. Aku tak pernah kehilangan sedetik pun merasakan rasa sayangnya. Ia pun tak pernah absen bilang padaku bila ada perlu sesuatu atau sedang memiliki masalah. Bahkan yang paling indah, aku dan Maya kini sudah dikaruniai dua orang cucu. Yang satu sedang menempuh sekolah dasar, yang satu lagi masih balita.

Posted on Senin, Juli 27, 2015 by Unknown

No comments

Senin, 18 Mei 2015

Awalnya, aku sedang tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Aku dilanda suatu musibah kebosanan karena tak ada yang bisa dilakukan dan lelah untuk menunggu. Akhirnya sesuatu menarik perhatianku dan membuat aku dapat melakukan sesuatu. Yaitu memperhatikan seorang necis di seberang sana yang sepertinya sedang berjalan ke arah halte ini. Pakainnya rapih. Kemeja putih polos dan berjas hitam. Dasinya biru. Rambutnya berkilauan, disisir menjadi terbelah dua. Belahan yang mengarah ke kanan lebih besar daripada yang satunya lagi. Mungkin gambaran tersebut cukup untuk menjelaskan apa pekerjaan dia karena tidak baik juga saya harus menjelaskan anggota tubuhnya yang lain.

Ia sampai dan duduk di sebelahku. Tak lama, kulirik ia mengambil ponselnya dari saku celana. Ia menulis beberapa nomor dan mulai berbicara dengan seseorang di balik ponsel tersebut.

“Halo. Pak, saya sedang menunggu bus kota di halte sekitar daerah Sarijadi.” Aku yang sedari awal memperhatikan gerak geriknya mana mungkin ketinggalan pembicaraannya. Lagipula, meskipun tidak berniat menguping, suara sedekat itu mustahil tidak terdengar. Daripada membuat curiga, aku pun meniru orang tersebut dan mulai membuka ponselku untuk mengakses permainan.

Belum sampai kusentuh ikon permainan yang kutuju, sebuah panggilan datang. Panggilan ini dari atasanku di kantor.

“Halo,” ucapku memulai percakapan.

“Gimana sih, kamu?” Nadanya tinggi. “Mana ada liputan mengenai kecelakaan bahasanya alay begini. Kamu, kan, sudah tahu bagaimana penempatan bahasa dalam berita. Masa begini saja kamu tidak bisa.” Ia bercerocos tanpa basa-basi. Dan saya tidak merasa melakukan apa yang dituduhkannya.

“Saya tidak..” Penjelasanku dipotong.

“Sudah. Kamu tidak perlu beralasan. Sekarang daripada hasil kerjamu saya laporkan dan akhirnya gajimu dipotong, buat liputan baru untuk mengisi halaman ‘Berita Lokal Bandung’ sekarang juga.”

“Tapi, pak, saya..”

“Sudah kubilang langsung saja cari objek liputan sekarang juga. Hari ini, kan, batas pengiriman akhir liputanmu.”

“Sebentar, pak. Saya mohon berbicara sebentar.” Supaya tidak dipotong lagi. Pembicaraanku barusan kuucap dengan cepat.

“Apa?”

“Bagian liputan saya minggu ini bukan tentang kecelakaan. Dan liputan yang bapak maksud sepertinya bukan liputan saya,” jelasku dengan tenang. “Barangkali bapak bisa cek kembali draf mengenai jobdes reporter minggu ini. Maaf kalau saya lancang..”

“Masa sih? Sebentar, saya cek dulu.” Jawabnya. “Kalau begitu nanti saya telepon lagi.” Tanpa basa-basi dering panjang menandakan panggilan berakhir berbunyi begitu saja. Tanda hubungan diakhiri.

Kulanjutkan kembali untuk mengakses permainan. Sepertinya di saat bosan begini, permainan yang paling menarik adalah permainan simpel yang tidak butuh beban berpikir yang berat. Permainan semacam endless run sepertinya pilihan yang menarik. Ada beberapa permainan bergenre itu di ponselku. Ada Subway Surfer, Sonic 3D, Stick Run, dan Yamakasi.

Apa, ya?

“Anda bermain Clash of Clans?” Pria berpakaian rapih tadi bertanya kepadaku. Sepertinya ia mengintipku yang sedang mencari-cari permainan.

Lalu dengan sedikit kaget aku mencerna pertanyaannya. “Klee Solve Can? Maksudnya?”

COC. Didn’t you know yet?” Sepertinya ia sangat kaget dengan jawabanku. “Oh tidak. Mengapa masih ada orang di dunia ini yang tidak tahu permainan itu?” Dia bertanya dan sepertinya bukan kepadaku. Dia bertanya mungkin kepada dirinya sendiri atau kepada angin, yang pasti dia tidak melihat padaku saat mengajukan pertanyaan itu.

“Benarkah anda tidak tahu permainan itu? Itu permainan strategi paling trending topic abad ini, dan anda tidak tahu?” Tanyanya sekali lagi.

“Ya. Aku benar-benar tidak tahu.” Jawabku singkat. “Anda mau menjelaskannya?” Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menanyakan permainan sejenis apa itu. Yang aku rasa, mungkin itu semacam permainan di android, berhubung aku yakin dia mengintipku saat memilih-milih permainan di android.

“Oke, begini, ya..”

Teleponku berdering. “Yah, mohon maaf saya potong. Ini ada telepon masuk.”

“Okelah.” Jawabnya ketus disertai alis yang diangkat dan pandangan mata yang mengedar-edar.

“Halo, pak. Bagaimana sudah dicek?”

“Iya sudah.” Nadanya santai. Jauh berbeda dengan panggilannya yang pertama. “Sepertinya saya salah.” Bukan sepertinya, memang anda salah. “Setelah saya cek, liputanmu untuk minggu ini bagus dan mendapatkan nilai A di draf laporan mingguan saya. Dan untuk liputan kecelakaan itu ternyata liputannya si Tendi.”

“Baiklah kalau begitu, pak. Dan terima kasih atas penilaiannya. Ada lagi yang mau bapak sampaikan?”

“Tidak. Mungkin itu saja.”

“Oke.” Dering panjang itu berbunyi lagi bahkan mungkin sebelum aku bilang “oke”.

Kulihat ke samping kiriku dan pria necis tadi sudah menghilang. Aku pikir dia sedang menunggu bus kota datang. Tetapi kenapa pergi begitu saja? Mungkin dia pergi mencari makanan atau minuman. Entahlah tidak mesti aku pikirkan.

Akhirnya aku melanjutkan niatku untuk bermain game. Aku sudah punya pilihan. Dan pilihan itu jatuh ke Stick Run. Permainan ini ringan dan tidak menghabiskan banyak stok RAM di ponselku yang sederhana. Maka permainannya dipastikan lancar dan tidak nge-lag.

Klik. Sebuah tampilan muncul dan kutunggu sampai keluar opsi permainan.

Tooot. Suara klakson berbunyi kencang. Tanda bus kota sudah datang. Yah, gila saja. Dari tadi aku diganggu banyak hal. Padahal aku hanya ingin bermain game.

Aku pun segera berdiri dan bergegas untuk memasuki bus tersebut. Aku edarkan dulu pandangan ke sekitar, takut ada yang ketinggalan.

Setibanya di hadapan pintu bus kota, aku berhenti berjalan karena teringat sesuatu. Bukannya sejak awal aku sedang menunggu datangnya bus kota? Tapi ketika bus itu datang, mengapa aku mengeluhkannya gara-gara ada pekerjaan lain yang itu bukan niat awalku?

Seseorang dari belakangku menepuk punggungku. “Pak, kenapa tidak segera masuk?”

Oh iya, aku lupa. Aku, kan, mau naik bus.


Posted on Senin, Mei 18, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 10 Mei 2015

Saat waktu berjalan mundur, Hikmat pun mengikutinya. Ia menapaki jejak demi jejak kakinya untuk mencari batu akik milik pacarnya yang terjatuh. Ia menyesali kenapa dia bisa begitu ceroboh, padahal batu tersebut merupakan batu pemberian ayah Hikmat yang telah meninggal dunia. Rani, pacarnya Hikmat, memang disayangi ayah Hikmat karena ketulusannya dalam mencintai Hikmat, anak semata wayangnya. Rani selalu mengerti kondisi Hikmat, bagaimana pun keadaannya.

Suatu waktu, “Mat, tadi aku ketemu sama Ayah di pasar. Dia menitipkan ini buatmu.” Rani menyodorkan tangannya. Hikmat mengambil sehelai uang lima puluh ribu dari tangan Rani. Ia melirik wajah Rani yang sedang tersenyum.

“Terima kasih, Ran.” Hikmat membalas senyum Rani.

Lalu ia mengajak Rani untuk pergi ke Taman Musik, kurang lebih sepuluh menit dengan naik motor.

“Ran, aku lapar,” ungkap Hikmat setibanya di tempat parkir di depan sebuah sekolah menengah atas negeri di seberang Taman Musik. Matanya hilir mudik mencari penjual makanan. Dan ia mendapati tukang lontong kari sapi sedang berjalan mendorong rodanya ke arah mereka. “Kita beli itu, ya,” ajak Hikmat pada Rani.

“Aku tidak lapar,” ungkap Rani sambil memegang perutnya.

“Pesan saja setengah,” Hikmat memaksa.

“Ya sudah aku pesan seperempat saja.”

“Mana ada ukuran segitu?”

“Bisa saja.”

“Daripada segitu, mending gak usah pesan sekalian.”

“Bukannya aku sudah bilang bahwa aku tidak lapar.”

“Ya sudah. Kamu boleh pesan seperempat,” Hikmat akhirnya menyerah.

Pedagang tersebut akhirnya sampai di dekat mereka.

“Mang, pesan dua piring. Yang satu porsi penuh. Yang satu lagi seperempat porsi.” Lalu ia menengok pada Rani, “Kamu pakai sambal?”

Rani mengangguk.

Hikmat melanjutkan pesanannya pada pedagang itu, “Berarti yang porsi penuh tidak pakai sambal, yang satu lagi pakai.”

Hikmat menengok lagi pada Rani. “Banyak?”

“Apanya?” jawab Rani.

“Sambalnya.”

“Sedikit saja.”

“Sedikit, mang,” lanjut Hikmat.

“Yah, habis, kang.” Jawab pedagang lontong kari itu.

“Apa?” Sentak Hikmat. “Kenapa tidak bilang dari tadi?”

“Akang-nya bicara terus,” bilangnya dengan ekspresi datar. “Jadi saya tidak ada kesempatan buat berbicara.”

“Sudah.. Sudahlah.. Pergi sana,” Hikmat memalingkan mukanya ke arah Rani.

“Biasa aja keleus,” jawab pedagang itu sambil berlalu.

“Kenapa begitu berlebihan?” Rani menegur Hikmat. Tangannya melipat di atas perut. Kedua alis matanya hampir bertemu. Lalu ia mengendus napas kecil.

“Aku biasa saja,” lalu Hikmat menarik tangan Rani dan membawanya pulang.

***

Hikmat tersentak dalam pencarian batu akiknya setelah melihat kilau-kilau cahaya di dasar sebuah selokan yang kering dekat tikungan di antara rerimbun daun pepohonan. “Akhirnya,” gumam Hikmat. “Ran, aku menemukannya.” Ia melompat ke dasar selokan.

“Mana?” Sahut Rani di seberang jalan.

“Ke sini, cepat.”

Kita bisa melihat bagaimana senangnya Rani atas penemuan batu akik yang hilang terjatuh karena kecerobohan Hikmat. Saking senangnya, ia tak sadar terhadap suara klakson mobil yang terdengar begitu dekat baginya. Rani dihantam bagian kanan sebuah truk dan seketika terlempar ke arah trotoar. Mobil itu akhirnya melaju dengan kecepatan tinggi dan menghilang tanpa jejak.

Hikmat yang sedang berjongkok di dasar selokan seketika berdiri mendengar jeritan Rani. Batu akik yang sudah dipungutnya terlempar ke sembarang arah. Hikmat segera melompat dan menghambur untuk melihat kondisi Rani di seberang jalan. Napasnya terengah-engah. Jantungnya berdegup cepat. Tanggul air matanya jebol saat ia tiba di hadapan Rani. Ia menangis terisak-isak dan berteriak meminta tolong. Tidak ada pejalan kaki di sana kecuali para pengendara motor yang berhenti untuk melihat keadaan.

Hikmat mengangkat tubuh Rani dan menyandarkannya di dada. Ia sadar, hanya ada satu ritme detak jantung di sana. Detak jantungnya saja. Hikmat pun memeluk erat Rani yang telah bersimbah darah.

Posted on Minggu, Mei 10, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 03 Mei 2015

Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa sedih dengan kondisi keluarganya yang cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi. 

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya. 

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang. 

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis. 

Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa menyesal meski kondisi keluarganya cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi.

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya.

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang.

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis. 

Posted on Minggu, Mei 03, 2015 by Unknown

No comments

Selasa, 31 Maret 2015

Dua

Sebagai tempat bernaung, tak selamanya rumah melindungi
Ada kalanya air, jika datangnya besar-besaran, seketika melenyapkan fungsi rumah sebagai tempat berlindung
Malam ini, di kamar yang sunyi, nyanyian alam bergemuruh ramaikan yang sepi
Air yang datang secara besar-besaran, membuat kamar yang sunyi ini terbangun dari lelapnya
Sebuah jasad, halnya sebuah rumah
Ia hadir melindungi yang perlu dijaga
Jasad menaungi apa yang ada di dalamnya
Jasad adalah cermin dari yang dilindunginya
Yang bersembunyi di balik jasad, ialah jiwa

Jiwa itu mati, sebenarnya
Tapi yang mati itu menghidupkan yang hidup, jasad
Ada hidup karena ada mati
Ada mati karena ada hidup
Tidak mungkin tidak ada salah satunya
Maka, keduanya adalah satu dan nol
Ada dan kosong
Absolut keduanya pasti ada, ada dan kosong, dua-duanya

Jiwa yang mati, menghidupkan
Maka jasad yang hidup, mematikan

Diantara rumah-rumah, manusia tak dikenal, karena mereka adalah rumah
Diantara jasad-jasad, jiwa pun tak dikenal, karena mereka adalah jasad
Manusia, yang mati diantara rumah-rumah
Jiwa, yang mati diantara jasad-jasad
Tapi manusia dan jiwa, menghidupkan
Rumah menjadi makmur
Jasad menjadi berdikari
Tapi rumah dan jasad, menganggap mati manusia dan jiwa, karena mereka tak dikenal


31 Maret 2015: sekitar jam dua pagi
Kamar yang basah

Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Unknown

No comments

Sabtu, 07 Februari 2015

Malam melarut. Bintang terkabuti langit-langit. Laba-laba memangsa laron. Dan aku, tergerak bersuara di balik catatan.

Bukan hari yang buruk, bukan malam yang rusak. Bukan pula yang biasa-biasa. Katamu, cukup dengan mengalir di sini saja, tidak untuk dibahaskan di sana. Lalu kau berterima kasih kepada malam. Dan aku berterima kasih kepadamu.

Benar apa yang kau bilang bahwa cinta adalah nyaman. Sesederhana itu saja. Tak perlu beralasan, tak perlu berkilah-kilahan. Dan aku nyaman bersamamu.

Cinta adalah anugerah yang tiada tara. Ketika budak-budak metropolitan melegitimasikan seks sebagai anugerah, bahwa aku tidak. Tak perlu sejauh itu. Yang penting nyaman, dan itu menjadi anugerah.

Kau tahu, aku selalu merasa menjadi lelaki paling kesepian. Terlepas apakah orang lain peduli atau tidak, aku merasakannya. Kesepian ini menjadi beban terberat yang aku rasakan. Aku hampir-hampir bisa mati dengan kesepian.

Tapi bersamamu, berdua, aku merasa berada di ruang paling hangat, paling ramai. Aku tak kesepian lagi.

Inilah obat yang aku butuhkan.

Kita tak berbicara tentang sesuatu yang berat untuk dibicarakan. Hanya bicarakan awan-awan ringan dalam hembusan angin timur. Melaju bersama matahari untuk berlabuh di barat jauh.

Hujan pun nampak hanya jadi puing-puing. Tersipu pada kebersamaan kita. Aku menganggapnya seperti itu. Semoga saja benar.

Mungkin waktu satu hari satu malam pun terasa seperti satu detik saja. Laju ruang seperti berlari mengejar detik demi detik waktu berlalu. Dalam ruang yang hampa, aku tak memikirkan apa-apa. Aku hanya memikirkanmu. Kau yang terduduk di sampingku. Di atas bes. Di sebuah taman. Dan orang-orang berlintasan dengan acuh. Dengan tak peduli. Mereka biasa lebih dari sekadar apa yang kita lakukan.

Keberserahanmu buat aku terbingung. Tapi kau pun selalu punya pilihan.

Aku tak tahu apakah ini istimewa buatmu. Melainkan ini sangat istimewa buatku.

Kuucap terima kasih pada malam. Begitupun sore. Mereka yang dengan setia menemani kita. Semoga ada banyak lagi malam-malam, atau pagi siang sore lainnya.

Tulisan ini dibuat pada beberapa bulan yang lalu di 2014. Aku lupa.

Posted on Sabtu, Februari 07, 2015 by Unknown

No comments

Banyak catatan yang sebenarnya tidak aku publikasikan di blog ini. Aku tidak sepercayadiri itu. Tetapi, aku selalu berusaha untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Salah satu diantaranya memang merupakan cermin secuil hati yang kesepian, dan rindu akan kehangatan. Itulah mungkin sesuatu yang aku belum sanggup untuk mengungkapkannya kepada siapapun. Menampakkan hal seperti itu, bak memperlihatkan kelemahan.

Meski begitu, aku mencoba selalu memperbaiki diri. Semoga semuanya menjadi lebih baik daripada yang aku duga.

Posted on Sabtu, Februari 07, 2015 by Unknown

No comments