Senin, 22 September 2014



Bumi yang terik, mobil dan motor berlalu tanpa ampun. Roda-roda bermesin itu terlihat begitu terburu-buru. Mungkin sedang ingin bermain balapan. Hanya bermain saja, karena untuk balapan di trek, mereka tak punya mental itu. Mereka hanya bermental pengecut. Hanya berani melawan mobil-mobil sayuran, angkot, becak dan sepeda jadulku saja. Untuk bersaing dengan yang lebih kuat, rasanya tidak mungkin.

Bangku berdecit, engsel-engselnya agak reyod. Jika aku menyondongkan tubuh ke samping, maka bangku ikut miring, seperti Menara Pisa. Jika aku bersandar ke belakang, rasa-rasanya hampir akan terjatuh. Tapi aku butuh tempat duduk, untuk menunggu Aksan, teman sekelasku di kampus. Kita janji pergi bersama sambil bersepeda ria.

Ada kuliah pukul dua siang, dan kini sudah setengah dua. Aksan tak kunjung datang. Sudah lima belas menit aku menunggu. Ada nyanyian dari arah perutku, mungkin cacing-cacing sedang menggerutu.

Angkot hijau akan berhenti di sebelah sana, depan halte Metro. Sekitar sepuluh meter dari tempatku duduk. Sepertinya, mau menurunkan penumpang. Aku perhatikan saja untuk mengisi luang.

Sebuah tas koper besar yang mula-mula nongol di balik pintu angkot. Cukup lama. Mungkin berat, kelihatannya begitu. Sebenarnya aku punya niat membantu. Hanya niat saja. Karena dalam ajaran Tuhan, berniat baik sudah termasuk perbuatan baik. Berbeda jika berniat jahat. Niat itu tidak tidak akan dituliskan dalam catatan malaikat apabila kejahatannya tak dikerjakan.

Akhirnya muncul kepala dari dalam angkot tersebut setelah koper tadi sudah di luar. Seorang perempuan. Berjilbab. Kelihatannya masih muda, seumuranku. Sepertinya cantik, hanya saja aku tak bisa melihat jelas mukanya. Sedari keluar angkot, ia tak pernah menghadap ke arah ku. Padahal, aku harap dia bisa melihatku yang sedang bosan menunggu Aksan di sini. Atau paling tidak, aku yang dapat memandang wajahnya yang cantik, kalau memang dia cantik. Tapi sepertinya begitu.

Perempuan itu keluar bersama temannya yang juga perempuan, tapi tak berjilbab, dan memakai kaos pendek putih. Ia mengurai rambutnya setiba di trotoar untuk merebahkan diri. Duduk di angkot, sebentar atau lama sama saja. Sama-sama buat pegal. Makanya, aku pilih berkendara sepeda saja. Yang lebih sehat dan lebih menantang.

Temannya, setiba di trotoar, langsung mengalihkan pandangannya ke arah aku duduk. Bukan melihatku. Hanya tatapan basa-basi tanpa tujuan. Pandangannya kosong, mungkin melihat sesuatu yang jauh dariku karena ia sama sekali tak melirikku. Meskipun begitu, yang penting aku bisa melihat wajahnya. Ternyata cantik juga, dan lirikan mataku terpaku pada orang itu. Memang, melihat orang cantik itu menyegarkan.

Mereka berdua mungkin akan menyebrang jalan, dan menunggu lalu lintas aman dengan mengobrol. Membicarakan entah apa tapi terlihat begitu menyenangkan. Aku pun tak peduli. Hanya saja, perempuan berkaos putih itu menghalangi jarak pandangku terhadap temannya. Padahal aku sangat ingin melihatnya. Biar cuaca yang terik, menjadi sejuk.

“Ayolah! Minggir, kau!” Benakku kesal.

Sejak hubungan berpacaranku tamat dengan Aliya, pandanganku lebih mudah teralihkan oleh gadis-gadis lain. Muda ataupun tua. Cantik ataupun tidak, meski pada akhirnya jika tak sesuai dengan seleraku, segera ku alihkan pandangan. Aliya memang tak begitu cantik, kata orang lain. Tapi tidak bagiku. Ia adalah mahadewi yang tersesat di bumi. Dan pada akhirnya menemukan pelabuhan di hatiku. Meski sekarang, ia sudah berangkat lagi.

Aku percaya dengan sebuah obrolan dari seorang jenderal tua. Katanya, bukan cantik yang menjadikan cinta, tapi cinta yang menjadikan cantik. Perkataan itu, terpatri di pikiranku sampai sekarang. Sampai akhirnya hubunganku dengan Aliya berakhir. Sampai akhirnya, aku menjadi tergila-gila pada wanita cantik.

Jalanan sudah lengang. Ada mobil, tapi cukup jauh dari jarak pandang. Adapula motor, tapi hanya pelan saja. Kendaraan lainnya tak ada, dan mereka berdua siap menyebrang.

“Ah tidak, kesempatanku akan hilang,” bisikku dalam hati. “Masa aku harus cari perhatian dengan berpura-pura ingin membantunya mengangkat koper?”

Akhirnya daripada kesempatan itu hilang, segera aku berdiri dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjadi seorang pahlawan. Meskipun kesempatan pasti datang lagi, apa salahnya aku ambil kesempatan emas ini. Barangkali saja, dia itu jodohku. Dan lewat pertemuan ini, kita bisa merajut cinta sampai mati.

Ku hentakkan langkah kaki pertamaku dan, “Hai! Mau kemana, kau, Andra?” Sepertinya Aksan.

“Maafkan aku telat cukup lama.” Dan ternyata benar itu Aksan.

“Oh tidak. Kesempatanku berakhir,” sesalku dalam hati. Aku tak berani melanjutkan membantu para gadis itu karena aku takut dituduh cari perhatian. Tuduhan-tuduhan seperti itu kerap dilancarkan Aksan selepas aku putus dengan Aliya. Alasannya, aku dianggap tidak bisa berpindah ke lain hati dan cenderung akan mencari banyak perhatian.

Langkah pun ku hentikan.

“Aksan, kau datang tepat pada waktunya,” sindirku.

“Bukankah aku telat?” Dia pura-pura bodoh atau memang bodoh. “Tapi terima kasih, kau memang teman yang baik. Meskipun aku telat, kau tetap berbaik hati kepadaku dengan berkata begitu.”

Dia memang benar-benar bodoh.

Suasana menjadi tegang. Aliran darahku terasa mengalir lebih cepat. Saat ku alihkan pandangan kepada gadis-gadis tadi mereka sudah di tengah jalan. Langkahnya cukup cepat karena beban yang sepertinya berat. Dan mereka semakin menjauh. Dan harapanku untuk melihat wajahnya pupus karena Aksan.

“Mereka temanmu?” Aksan bertanya dengan lepas.

“Bukan.”

“Lalu?”

“Entahlah.”

“Aku tau maksudmu?”

“Apa?”

“Kau pasti ingin cari perhatian.”

“Tidak.”

“Sudahlah, akui saja!”

“Tidak, aku tak mau melakukan apa-apa.”

***

Aku pun mengakuinya selepas kita naik sepeda. Segala maksudku terhadap gadis-gadis tadi, ku ungkapkan kepada Aksan. Biar segala penatku, Aksan pun merasakannya. Biar rangkaian kata-kata menari bersama simbol-simbol emosi yang keluar dari mulutku, merasuk jauh ke dalam pikiran Aksan. Biar dia mengerti, kenapa dia tidak boleh menggangguku lagi.

“Itu adalah keistimewaan sebagian perempuan,” Aksan mulai berkata-kata seperti para filosof berceramah di lorong-lorong gua. “Mereka yang dillindungi, wajahnya dibentengi oleh perisai Tuhan.”

Dahiku mengkerut tanda ketidakpercayaan.

“Banyak orang memang tak akan percaya dengan apa yang aku ucapkan,” Aksan mulai menyombongkan dirinya yang bodoh. “Kata-kataku terlalu suci dan tinggi untuk dimengerti oleh orang-orang awam hingga aku menjelaskan.”

“Ya sudah, jelaskan!” Dengan terpaksa, karena keingintahuanku, aku harus jadi orang awam.

“Begini, pemuda,” papar Aksan, “Bahwa Tuhan melindungi tubuh perempuan yang tubuh itu dijaga oleh perempuan itu sendiri. Termasuk wajahnya. Mereka dengan sebaik mungkin menjaga diri mereka dari segala hal yang tak bermoral. Maka dari itu, Tuhan pun menjaga mereka dari segala perbuatan tak beretika seperti apa yang akan kau lakukan tadi. Mencuri-curi pandang terhadap seorang perempuan.”

“Jadi kau menuduhku lagi?”

“Jika semua pencuri di dunia ini mengaku, penjara akan diperluas.”

“Terserah kau!!”

Akhirnya, kita sampai di kampus pukul dua siang lebih sepuluh menit.

Posted on Senin, September 22, 2014 by Unknown

1 comment

Sabtu, 20 September 2014

Dwi



Apa yang dilakukan saat pagi terbelalak, adalah apa yang akan menjadikan matahari menguning dan mengemas. Sinarnya berpantulan dalam ruang luas bentangan langit. Ia menjadi cahaya dalam dimensi perputaran roda bumi. Menerangi larva di balik daun dan kumbang pada lipatan tanah. Di saat rombongan manusia masih bersatu dalam mimpi, ia mulai membuka mata untuk mengemulsi cahaya, embun, dan udara pagi menjadi sebuah semangat hidup.

Tertiup angin, aspal berdebu. Kerikil-kerikil beradu. Dwi menghentak bumi dengan ritma orang berlari. Ia dikejar waktu untuk mencapai halte dimana bis kota masih merangkak belum berpacu. Napasnya tersengal dengan detak jantung beraturan. Dwi bisa berlari sambil mengatur aliran udara dalam tubuh, sehingga tak merasa lelah.

Dwi berlari, dan orang-orang di pasar bersautan. Saling melempar pesan sambil berkirim senyuman. Dwi kenal hampir mereka semua. Begitupun mereka terhadap Dwi, yang pun sangat menghargai. Dwi anak seorang janda tua pedagang sayur dan asin-asinan. Namanya Sri. Mereka mengais rizki sebelum ayam berkokok di balik suara paraunya. Mereka punya asa untuk tetap hidup, meski tanpa ayah. Ayah yang pergi demi wanita muda pada dasawarsa lama.

Sudah pukul tujuh lebih lima menit, Dwi melihat jam tangannya. Jarak masih dua kilo dan bis sudah enggan menunggunya, ia tahu itu. Bis Leuwipanjang-Ledeng memang terkenal disiplin. Pengemudinya, entah berasal darimana, menghargakan waktu melebihi uang, tak seperti kondektur-kondekturnya yang biasa menangguhkan keberangkatan. Pengemudinya, biasa tetap melaju meski tanpa penumpang. Jika kecuali karena macet, bis selalu datang dan pergi dengan tepat waktu.

Itulah yang jadi kekhawatiran Dwi. Bis harusnya berangkat pukul tujuh tepat. Dan ini sudah jam tujuh lebih delapan menit. Meski ada, bis selanjutnya beroperasi pada pukul setengah delapan. Waktu yang akan menjadi sangat lama apabila terpaksa harus menunggu. Masalahnya, mata kuliah Sosiologi Masyarakat Modern akan mulai pada pukul delapan. Tepat pada waktunya, tepat dosennya selalu datang tanpa telat.

Ini hari selasa. Jarak tinggal satu kilo, dan jarum panjang menunjuk angka dua. Dan tak ada ojek yang bisa ia tumpangi. Setidaknya, untuk menghemat waktu daripada ia harus menghabiskannya sampai di terminal dengan berlari. Semakin Dwi melihat arloji, semakin ia pasrah terhadap waktu. Semakin bayang-bayang di balik matanya redup diterpa angin rasa menyerah. Dwi menjadi teringat Mang Kardi, yang ia yakin Mang Kardi-lah penyebab telatnya ia naik bis.

Lima belas menit menuju jam tujuh pagi. Pasar masih ramai orang-orang bertransaksi. Apalagi komplek sayuran, yang selalu ramai tiap hari. Dwi bersiap-siap berangkat menuju kampus. Jarak tiga kilometer dari pasar cukuplah ia tempuh dalam waktu seperempat jam. Dwi bersalaman dengan ibunya. Kening Dwi dicium sayang. Tugasnya di pasar sudah selesai, terlebih memang ia sedang ada kelas pagi.

Tiba-tiba frekuensi suara beradu dengan gendang telinga Dwi. Jarak suaranya terdengar masih jauh, Dwi hanya melongak-longok. Suara itu pun terdengar semakin dekat, dan Dwi tahu datangnya dari arah jalan raya, tak jauh dari gerbang pasar. Suara itu semakin kencang keluar dari mulut orangnya, Dwi yakin begitu karena orang yang memanggilnya tak kunjung datang. Dwi dan ibu masih melongak-longok.

“Dwi!” Akhirnya menyembul kepala di balik tangga gerbang masuk pasar. Itu Mang Kardi, adik ibu. “Aku butuh bantuanmu sebentar. Aku baru dikirim barang dari distributor. Bantulah aku mengangkat kiriman-kiriman tersebut menuju toko!”

“Tapi aku mau berangkat kuliah, mang,” tolak Dwi mentah-mentah.

“Ayolah sebentar saja, lagipula masih ada waktu lima belas menit lagi. Pasar dan terminal kan berdekatan, cuma tiga kilo.” Mang Kardi tahu bahwa Dwi sedang mengejar bis kota. Karena ia pun tahu, hari ini jadwal kuliah pagi Dwi. Tapi bagaimana lagi, pegawai Mang Kardi belum datang satu pun.

“Bantulah Mang Kardi, Dwi,” selah ibu saat ia dan Mang Kardi bernegosiasi.

Dwi akhirnya mengalah saat senyum tawar ibu melunturkan kekerasan hatinya. Meski cukup dongkol, Dwi berusaha tulus. Bukan karena permintaan Mang Kardi, tapi karena rayuan ibunya.

Barang-barang pun selesai dialihkan. Kotak-kotak dus makanan dan minuman berjejer dan bertumpu dengan rapih di depan etalase toko. Asap knalpot mengepul hitam di balik wajah Mang Kardi tanda mobil box distributor sudah pergi. Dan Dwi sadar, ternyata mengangkut barang tak memakai waktu yang sebentar, butuh sepuluh menit untuk menghabiskan semuanya.

Dwi segera bergegas meski tak yakin akan sampai di terminal dalam waktu lima menit hanya dengan berlari, bahkan bermotor sekalipun. Ia pun berpamitan sekali lagi pada ibu. Dwi hanya mencium tangan ibunya tanpa dikecup lagi keningnya. Dwi sedang sangat terburu-buru. Ia tak punya pilihan selain segera beranjak menuju terminal. Dan, melewatkan Mang Kardi yang masih tertegun memandangi mobil box yang kian menjauh melaju pergi.

“Tetaplah ikhlas dalam waktu kapanpun dan bagaimana pun kondisinya. Kau akan dengan segera mendapatkan hasilnya jika hatimu ringan dalam berbuat sesuatu, apalagi membantu. Allah memudahkan jalan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Merekalah orang-orang yang bersih hatinya dari penyakit-penyakit setan seperti kebencian dan hasud,” pesan ibu sebelum Dwi berangkat.

Napas Dwi akhirnya terengah karena perasaan yang labil. Ia hanya bisa mengatur napas ketika emosinya stabil. Terminal memang sudah masuk dalam jarak pandang mata, tapi masih perlu ditempuh dengan waktu lima menitan. Dan sekarang, sudah pukul tujuh lebih lima belas menit.

Dwi sudah kehilangan asa. Jika jadi pergi kuliah, ia akan hanya membuang waktu. Sang dosen tak pernah mengizinkan mahasiswa masuk melebihi waktu datangnya ke kelas, meski mahasiswa itu hanya berjarak lima atau bahkan satu meter di belakangnya. Kontrak kuliahnya memang seperti itu.

Jika pergi pukul setengah delapan, ia tak yakin akan sampai di kampus tepat waktu. Waktu normal Leuwipanjang sampai Ledeng tak pernah kurang dari 45 menit. Akhirnya Dwi menghentikan langkah dengan emosi yang kacau dan perasaan yang bercampur aduk. Ia kesal pada pamannya, termasuk pada ibunya. Di satu sisi, ia pun malu kepada ibu karena tak bisa menjalankan amanah untuk tak pernah bolos masuk kuliah. Dwi merasa hancur. Dan, bising lalu lalang kendaraan semakin mendramatisir kehancuran Dwi.

Suara klakson tiba-tiba berbunyi tepat di balik daun telinga Dwi. Sontak ia kaget. Dalam keputusasaannya, ia bergeming, mengapa masih ada orang jahil. Mengapa Tuhan tak berpihak pada Dwi, kesalnya di dalam hati. Mengapa pada saat-saat seperti ini, tak datang seorang malaikat ataulah bidadari untuk menghibur dirinya yang sedang terpuruk.

Plak! Dengan keras sebuah telapak tangan mendarat di bahu Dwi. Ia langsung teringat Mang Kardi, karena begitulah caranya menyapa orang lain.

“Hei, naiklah motorku!” Ternyata benar, itu Mang Kardi.

Meski kaget dan meski merasa ada setitik cahaya menyembul di ruang pekat kegelapan, Dwi tetap tak bergeming. Ia terlanjur putus asa.

“Ayolah! Jika kau seperti itu, kau akan membuat malu dirimu dan ibumu, kawan.” Dari intonasi suaranya, terdengar Mang Kardi seperti merasa bersalah. “Meski sudah pukul tujuh lebih dua puluh menit, tak ada salahnya kita mencoba. Barangkali saja, bis belum berangkat.”

“Mana mungkin!” Ketus Dwi.

Dengan terpaksa Mang Kardi menarik tangan Dwi yang terkulai bagai daging tanpa tulang. Mang Kardi memaksa Dwi naik ke atas motor, dan segera bergegas melaju menuju terminal.

Sesampainya di tempat naik bis, dugaan Dwi tepat sasaran. Bis pemberangkatan kedua, pemberangkatan jam tujuh pagi, sudah tak terlihat roda-rodanya. Di sana hanya ada bis jam setengah delapan, lima menit lagi beroperasi. Kadung kecewa, Dwi tak peduli. Ia memutuskan sama sekali tak akan berangkat ke kampus karena hanya ada satu mata kuliah saja hari ini. Hingga akhirnya, telepon Dwi bergetar.

“Kawan-kawan, ada informasi dari kosma bahwa Pak Hasim tak bisa datang. Katanya, ia ada keperluan ke luar kota. Sehingga untuk mata kuliah hari ini, diganti menjadi tugas take home. Untuk lebih jelas tugasnya, bisa dilihat di blog beliau,” kata Husna lewat pesan elektroniknya. Kegelapan pun memudar, mata Dwi terbelalak. Ia kaget dengan apa yang terjadi. Ia tak menyangka kejadiannya akan berakhir seperti ini. Dwi pun terkulai, dan merebahkan diri di kursi tunggu penumpang.

Posted on Sabtu, September 20, 2014 by Unknown

1 comment

Jumat, 12 September 2014



Dalam sebuah perbincangan, teman saya pernah membahas tentang mengapa sebuah nasihat tak pernah menjadi bahan pertimbangan orang yang mendengarkannya. Nasihat hanya menjadi desir suara yang berlalu setelah hal itu didengarkan. Seperti halnya sebuah ceramah, banyak yang datang hanya untuk mendengarkan dan pulang dengan tanpa membawa apa-apa. Biasanya istilah ini disebut dengan ‘masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri’. Seperti itulah memang kenyataan yang terjadi.

Hal yang seperti ini memberi gambaran pada kita semua, bahwasanya ada sesuatu yang hilang dalam proses saling berhubungan antarsesama manusia. Hal inilah yang perlu kita runtut masalahnya biar menjadi clear. Persoalannya, jika realita ini dibiarkan terus menerus, ke depannya diprediksikan akan terbentuk sebuah pola pikir masyarakat yang bersikap antipasti terhadap ajakan-ajakan kebaikan.

Bila diambil sebuah analogi, mungkin bisa saja seperti ini. Apa yang dikeluarkan hanya berasal dari organ tubuh nyata berupa mulut, akan diterima oleh organ tubuh nyata lainnya yang bernama telinga. Maka dari itu, setelah masuk telinga kanan, akan keluar lewat telinga kiri. Dengan begitu, nasihat tak pernah bersemayam dalam diri manusia.

Berbeda apabila kejadiannya seperti ini. Apa yang dikeluarkan lewat mulut, sebelumnya berawal dari organ tubuh yang abstrak, yaitu hati. (Dalam pembahasan ini, hati yang dimaksud adalah perasaan, emosi, jiwa tentang ketulusan dan keikhlasan, bukan hati dalam definisi organ tubuh nyata manusia yang punya nama lain, liver.)

Apa yang dikeluarkan berasal dari hati, ternyata itu dapat sampai ke hati pula dan bersemayam di sana. Itulah kehebatan daripada hati. Sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat manusia. Jika hati menjadi asas sebuah ucapan dikeluarkan lewat mulut, maka kemudian hati pula yang akan jadi tempat kembalinya ucapan tersebut setelah masuk ke dalam telinga.

Inilah keistimewaan yang selama ini belum kita sadari. Bahwa sebuah pekerjaan yang menyangkut apapun, jika diucapkan dengan dasar hati yang tulus dan ikhlas, itu akan menjadikan pekerjaan yang berkaitan menjadi sebuah pekerjaan yang dimudahkan. Betapa pun beratnya, hal tersebut akan terasa ringan untuk dikerjakan.

Maka dari itu, perlulah kita memperbanyak kesyukuran kepada Tuhan yang Maha Kasih. Kesyukuran itu tak hanya berupa sujud dengan cucuran air mata, tapi dengan bekerja semakin lebih baik, itu merupakan tanda kesyukuran seseorang kepada Tuhannya.

Dalam Qur’an Surat An-Nahl ayat 78, penjelasan mengenai hati sebagai pembuka wawasan semakin ditegaskan. Kurang lebih, pernyataan kandungan dalam ayat tersebut menegaskan bahwa manusia berasal dari ketidaktahuan. Namun, ketika manusia menggunakan sam’a (pendengaran), abshor (penglihatan), dan fu’ad (hati) yang diberikan Tuhan, maka manusia harus pandai melakukan kesyukuran atas hal tersebut. Karena dengan hal-hal tersebut, manusia menjadi makhluk yang paling sempurna di antara makhluk Tuhan lainnya.

Namun Imas Rohayati dalam kuliah Esensi Al-Qur’an menafsirkan lebih apa yang dimaksud dengan fu’ad di dalam ayat tersebut. Bahwasanya kata tersebut punya arti tambahan selain dari hati, yaitu akal. Maka fu’ad adalah kombinasi antara akal dan hati. Pikiran dan perasaan. Nalar dan emosi. Yang kedua hal tersebut berjalan dengan seimbang untuk menakar apa yang didapatkan pendengaran dan penglihatan.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwasanya hati menyebabkan pekerjaan kita semakin ringan, semakin mudah, dan semakin bermanfaat. Maka, marilah kita menata segala pekerjaan kita untuk dikerjakan dengan hati yang bersih, tulus, dan ikhlas demi kemaslahatan diri kita sendiri dan juga orang lain.

Posted on Jumat, September 12, 2014 by Unknown

1 comment