Dalam sebuah perbincangan, teman saya pernah membahas tentang mengapa sebuah nasihat tak pernah menjadi bahan pertimbangan orang yang mendengarkannya. Nasihat hanya menjadi desir suara yang berlalu setelah hal itu didengarkan. Seperti halnya sebuah ceramah, banyak yang datang hanya untuk mendengarkan dan pulang dengan tanpa membawa apa-apa. Biasanya istilah ini disebut dengan ‘masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri’. Seperti itulah memang kenyataan yang terjadi.

Hal yang seperti ini memberi gambaran pada kita semua, bahwasanya ada sesuatu yang hilang dalam proses saling berhubungan antarsesama manusia. Hal inilah yang perlu kita runtut masalahnya biar menjadi clear. Persoalannya, jika realita ini dibiarkan terus menerus, ke depannya diprediksikan akan terbentuk sebuah pola pikir masyarakat yang bersikap antipasti terhadap ajakan-ajakan kebaikan.

Bila diambil sebuah analogi, mungkin bisa saja seperti ini. Apa yang dikeluarkan hanya berasal dari organ tubuh nyata berupa mulut, akan diterima oleh organ tubuh nyata lainnya yang bernama telinga. Maka dari itu, setelah masuk telinga kanan, akan keluar lewat telinga kiri. Dengan begitu, nasihat tak pernah bersemayam dalam diri manusia.

Berbeda apabila kejadiannya seperti ini. Apa yang dikeluarkan lewat mulut, sebelumnya berawal dari organ tubuh yang abstrak, yaitu hati. (Dalam pembahasan ini, hati yang dimaksud adalah perasaan, emosi, jiwa tentang ketulusan dan keikhlasan, bukan hati dalam definisi organ tubuh nyata manusia yang punya nama lain, liver.)

Apa yang dikeluarkan berasal dari hati, ternyata itu dapat sampai ke hati pula dan bersemayam di sana. Itulah kehebatan daripada hati. Sebuah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat manusia. Jika hati menjadi asas sebuah ucapan dikeluarkan lewat mulut, maka kemudian hati pula yang akan jadi tempat kembalinya ucapan tersebut setelah masuk ke dalam telinga.

Inilah keistimewaan yang selama ini belum kita sadari. Bahwa sebuah pekerjaan yang menyangkut apapun, jika diucapkan dengan dasar hati yang tulus dan ikhlas, itu akan menjadikan pekerjaan yang berkaitan menjadi sebuah pekerjaan yang dimudahkan. Betapa pun beratnya, hal tersebut akan terasa ringan untuk dikerjakan.

Maka dari itu, perlulah kita memperbanyak kesyukuran kepada Tuhan yang Maha Kasih. Kesyukuran itu tak hanya berupa sujud dengan cucuran air mata, tapi dengan bekerja semakin lebih baik, itu merupakan tanda kesyukuran seseorang kepada Tuhannya.

Dalam Qur’an Surat An-Nahl ayat 78, penjelasan mengenai hati sebagai pembuka wawasan semakin ditegaskan. Kurang lebih, pernyataan kandungan dalam ayat tersebut menegaskan bahwa manusia berasal dari ketidaktahuan. Namun, ketika manusia menggunakan sam’a (pendengaran), abshor (penglihatan), dan fu’ad (hati) yang diberikan Tuhan, maka manusia harus pandai melakukan kesyukuran atas hal tersebut. Karena dengan hal-hal tersebut, manusia menjadi makhluk yang paling sempurna di antara makhluk Tuhan lainnya.

Namun Imas Rohayati dalam kuliah Esensi Al-Qur’an menafsirkan lebih apa yang dimaksud dengan fu’ad di dalam ayat tersebut. Bahwasanya kata tersebut punya arti tambahan selain dari hati, yaitu akal. Maka fu’ad adalah kombinasi antara akal dan hati. Pikiran dan perasaan. Nalar dan emosi. Yang kedua hal tersebut berjalan dengan seimbang untuk menakar apa yang didapatkan pendengaran dan penglihatan.

Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwasanya hati menyebabkan pekerjaan kita semakin ringan, semakin mudah, dan semakin bermanfaat. Maka, marilah kita menata segala pekerjaan kita untuk dikerjakan dengan hati yang bersih, tulus, dan ikhlas demi kemaslahatan diri kita sendiri dan juga orang lain.