Apa yang dilakukan saat pagi terbelalak, adalah apa yang akan menjadikan matahari menguning dan mengemas. Sinarnya berpantulan dalam ruang luas bentangan langit. Ia menjadi cahaya dalam dimensi perputaran roda bumi. Menerangi larva di balik daun dan kumbang pada lipatan tanah. Di saat rombongan manusia masih bersatu dalam mimpi, ia mulai membuka mata untuk mengemulsi cahaya, embun, dan udara pagi menjadi sebuah semangat hidup.

Tertiup angin, aspal berdebu. Kerikil-kerikil beradu. Dwi menghentak bumi dengan ritma orang berlari. Ia dikejar waktu untuk mencapai halte dimana bis kota masih merangkak belum berpacu. Napasnya tersengal dengan detak jantung beraturan. Dwi bisa berlari sambil mengatur aliran udara dalam tubuh, sehingga tak merasa lelah.

Dwi berlari, dan orang-orang di pasar bersautan. Saling melempar pesan sambil berkirim senyuman. Dwi kenal hampir mereka semua. Begitupun mereka terhadap Dwi, yang pun sangat menghargai. Dwi anak seorang janda tua pedagang sayur dan asin-asinan. Namanya Sri. Mereka mengais rizki sebelum ayam berkokok di balik suara paraunya. Mereka punya asa untuk tetap hidup, meski tanpa ayah. Ayah yang pergi demi wanita muda pada dasawarsa lama.

Sudah pukul tujuh lebih lima menit, Dwi melihat jam tangannya. Jarak masih dua kilo dan bis sudah enggan menunggunya, ia tahu itu. Bis Leuwipanjang-Ledeng memang terkenal disiplin. Pengemudinya, entah berasal darimana, menghargakan waktu melebihi uang, tak seperti kondektur-kondekturnya yang biasa menangguhkan keberangkatan. Pengemudinya, biasa tetap melaju meski tanpa penumpang. Jika kecuali karena macet, bis selalu datang dan pergi dengan tepat waktu.

Itulah yang jadi kekhawatiran Dwi. Bis harusnya berangkat pukul tujuh tepat. Dan ini sudah jam tujuh lebih delapan menit. Meski ada, bis selanjutnya beroperasi pada pukul setengah delapan. Waktu yang akan menjadi sangat lama apabila terpaksa harus menunggu. Masalahnya, mata kuliah Sosiologi Masyarakat Modern akan mulai pada pukul delapan. Tepat pada waktunya, tepat dosennya selalu datang tanpa telat.

Ini hari selasa. Jarak tinggal satu kilo, dan jarum panjang menunjuk angka dua. Dan tak ada ojek yang bisa ia tumpangi. Setidaknya, untuk menghemat waktu daripada ia harus menghabiskannya sampai di terminal dengan berlari. Semakin Dwi melihat arloji, semakin ia pasrah terhadap waktu. Semakin bayang-bayang di balik matanya redup diterpa angin rasa menyerah. Dwi menjadi teringat Mang Kardi, yang ia yakin Mang Kardi-lah penyebab telatnya ia naik bis.

Lima belas menit menuju jam tujuh pagi. Pasar masih ramai orang-orang bertransaksi. Apalagi komplek sayuran, yang selalu ramai tiap hari. Dwi bersiap-siap berangkat menuju kampus. Jarak tiga kilometer dari pasar cukuplah ia tempuh dalam waktu seperempat jam. Dwi bersalaman dengan ibunya. Kening Dwi dicium sayang. Tugasnya di pasar sudah selesai, terlebih memang ia sedang ada kelas pagi.

Tiba-tiba frekuensi suara beradu dengan gendang telinga Dwi. Jarak suaranya terdengar masih jauh, Dwi hanya melongak-longok. Suara itu pun terdengar semakin dekat, dan Dwi tahu datangnya dari arah jalan raya, tak jauh dari gerbang pasar. Suara itu semakin kencang keluar dari mulut orangnya, Dwi yakin begitu karena orang yang memanggilnya tak kunjung datang. Dwi dan ibu masih melongak-longok.

“Dwi!” Akhirnya menyembul kepala di balik tangga gerbang masuk pasar. Itu Mang Kardi, adik ibu. “Aku butuh bantuanmu sebentar. Aku baru dikirim barang dari distributor. Bantulah aku mengangkat kiriman-kiriman tersebut menuju toko!”

“Tapi aku mau berangkat kuliah, mang,” tolak Dwi mentah-mentah.

“Ayolah sebentar saja, lagipula masih ada waktu lima belas menit lagi. Pasar dan terminal kan berdekatan, cuma tiga kilo.” Mang Kardi tahu bahwa Dwi sedang mengejar bis kota. Karena ia pun tahu, hari ini jadwal kuliah pagi Dwi. Tapi bagaimana lagi, pegawai Mang Kardi belum datang satu pun.

“Bantulah Mang Kardi, Dwi,” selah ibu saat ia dan Mang Kardi bernegosiasi.

Dwi akhirnya mengalah saat senyum tawar ibu melunturkan kekerasan hatinya. Meski cukup dongkol, Dwi berusaha tulus. Bukan karena permintaan Mang Kardi, tapi karena rayuan ibunya.

Barang-barang pun selesai dialihkan. Kotak-kotak dus makanan dan minuman berjejer dan bertumpu dengan rapih di depan etalase toko. Asap knalpot mengepul hitam di balik wajah Mang Kardi tanda mobil box distributor sudah pergi. Dan Dwi sadar, ternyata mengangkut barang tak memakai waktu yang sebentar, butuh sepuluh menit untuk menghabiskan semuanya.

Dwi segera bergegas meski tak yakin akan sampai di terminal dalam waktu lima menit hanya dengan berlari, bahkan bermotor sekalipun. Ia pun berpamitan sekali lagi pada ibu. Dwi hanya mencium tangan ibunya tanpa dikecup lagi keningnya. Dwi sedang sangat terburu-buru. Ia tak punya pilihan selain segera beranjak menuju terminal. Dan, melewatkan Mang Kardi yang masih tertegun memandangi mobil box yang kian menjauh melaju pergi.

“Tetaplah ikhlas dalam waktu kapanpun dan bagaimana pun kondisinya. Kau akan dengan segera mendapatkan hasilnya jika hatimu ringan dalam berbuat sesuatu, apalagi membantu. Allah memudahkan jalan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Merekalah orang-orang yang bersih hatinya dari penyakit-penyakit setan seperti kebencian dan hasud,” pesan ibu sebelum Dwi berangkat.

Napas Dwi akhirnya terengah karena perasaan yang labil. Ia hanya bisa mengatur napas ketika emosinya stabil. Terminal memang sudah masuk dalam jarak pandang mata, tapi masih perlu ditempuh dengan waktu lima menitan. Dan sekarang, sudah pukul tujuh lebih lima belas menit.

Dwi sudah kehilangan asa. Jika jadi pergi kuliah, ia akan hanya membuang waktu. Sang dosen tak pernah mengizinkan mahasiswa masuk melebihi waktu datangnya ke kelas, meski mahasiswa itu hanya berjarak lima atau bahkan satu meter di belakangnya. Kontrak kuliahnya memang seperti itu.

Jika pergi pukul setengah delapan, ia tak yakin akan sampai di kampus tepat waktu. Waktu normal Leuwipanjang sampai Ledeng tak pernah kurang dari 45 menit. Akhirnya Dwi menghentikan langkah dengan emosi yang kacau dan perasaan yang bercampur aduk. Ia kesal pada pamannya, termasuk pada ibunya. Di satu sisi, ia pun malu kepada ibu karena tak bisa menjalankan amanah untuk tak pernah bolos masuk kuliah. Dwi merasa hancur. Dan, bising lalu lalang kendaraan semakin mendramatisir kehancuran Dwi.

Suara klakson tiba-tiba berbunyi tepat di balik daun telinga Dwi. Sontak ia kaget. Dalam keputusasaannya, ia bergeming, mengapa masih ada orang jahil. Mengapa Tuhan tak berpihak pada Dwi, kesalnya di dalam hati. Mengapa pada saat-saat seperti ini, tak datang seorang malaikat ataulah bidadari untuk menghibur dirinya yang sedang terpuruk.

Plak! Dengan keras sebuah telapak tangan mendarat di bahu Dwi. Ia langsung teringat Mang Kardi, karena begitulah caranya menyapa orang lain.

“Hei, naiklah motorku!” Ternyata benar, itu Mang Kardi.

Meski kaget dan meski merasa ada setitik cahaya menyembul di ruang pekat kegelapan, Dwi tetap tak bergeming. Ia terlanjur putus asa.

“Ayolah! Jika kau seperti itu, kau akan membuat malu dirimu dan ibumu, kawan.” Dari intonasi suaranya, terdengar Mang Kardi seperti merasa bersalah. “Meski sudah pukul tujuh lebih dua puluh menit, tak ada salahnya kita mencoba. Barangkali saja, bis belum berangkat.”

“Mana mungkin!” Ketus Dwi.

Dengan terpaksa Mang Kardi menarik tangan Dwi yang terkulai bagai daging tanpa tulang. Mang Kardi memaksa Dwi naik ke atas motor, dan segera bergegas melaju menuju terminal.

Sesampainya di tempat naik bis, dugaan Dwi tepat sasaran. Bis pemberangkatan kedua, pemberangkatan jam tujuh pagi, sudah tak terlihat roda-rodanya. Di sana hanya ada bis jam setengah delapan, lima menit lagi beroperasi. Kadung kecewa, Dwi tak peduli. Ia memutuskan sama sekali tak akan berangkat ke kampus karena hanya ada satu mata kuliah saja hari ini. Hingga akhirnya, telepon Dwi bergetar.

“Kawan-kawan, ada informasi dari kosma bahwa Pak Hasim tak bisa datang. Katanya, ia ada keperluan ke luar kota. Sehingga untuk mata kuliah hari ini, diganti menjadi tugas take home. Untuk lebih jelas tugasnya, bisa dilihat di blog beliau,” kata Husna lewat pesan elektroniknya. Kegelapan pun memudar, mata Dwi terbelalak. Ia kaget dengan apa yang terjadi. Ia tak menyangka kejadiannya akan berakhir seperti ini. Dwi pun terkulai, dan merebahkan diri di kursi tunggu penumpang.