Hawa dingin segera menusuk rongga-rongga tulangku. Segera pandangan mata ini menangkap view indah sebuah danau putih kehijauan. Berselimut kabut dan aroma khas gunung kapur, jejakkan langkah kami sampailah pada titik akhir. Kawah Putih. Sebuah kawah mempesona di batas selatan Kabupaten Bandung. Kawah yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha pada abad XII.


Riuh keramaian para pengunjung lain kuanggap sebagai sebuah sambutan hangat. Bau belerang itu pun, yang katanya bisa membahayakan bila dihisap terlalu lama, tak mengecilkan gairahku bersama ketujuh temanku lainnya untuk segera berfoto ria.
Sungguh tak begitu menyangka, perjalanan dua jam kami dari kota Bandung akhirnya tiba di tempat itu. Sebuah tempat yang diidam-idamkan oleh delapan orang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini sejak lama. Sejak pertama kali kami saling kenal satu sama lain.
Perjalanan yang dimulai dari ujung timur Kota Bandung ini, tepat dimana kampus kami berdiri, tak sia-sia. Kami berangkat boncengan masing-masing motor berdua. Aku sendiri, berangkat dari rumah, yang kebetulan jalurnya akan dilewati oleh mereka. Kami sepakat untuk bertemu di jalan Cibaduyut. Dan kami pun memulai kembali perjalanan dari sana.
Terik matahari, tak mengerucutkan semangatku yang menggebu-gebu waktu itu, yang kuharapkan ketujuh temanku pun begitu. Sebuah perjalanan sekitar 47 KM itu, dengan yakin akan ditempuh dengan selamat sentosa. Tibalah kami untuk segera berangkat. Tombol starter keempat motor-yang sungguh menampakkan perbedaan derajat diantara motor itu, ditekan hampir bersamaan. Gerung-gerung motor menjadikan bising jalan. Kami pun berangkat.
Awal perjalanan, kami tempuh melewati sepanjang jalan Cibaduyut Raya. Banyak yang kami lewati di jalan itu. Riuh gemuruh para shopper di pertokoan sepatu yang terkenal di negara kita ini menjadi pemandangan yang tak lepas dari tangkapan mata. Ada juga stasiun televisi nasional TVRI. Bahkan, ketika berada di kolong jembatan jalan tol, kubunyikan klakson motor tuaku untuk sekedar meramaikan suasana. Akhirnya, teman-temanku pun ikut-ikutan. Dan orang-orang pun kebisingan.
Sampailah kami pada pertigaan yang menandai akhir dari jalan Cibaduyut. Kami belok kanan memasuki jalan Kopo Sayati. Menurut penuturan salah satu temanku, Ikhsan, bila kita terus melanjutkan perjalanan menuju jalan Kopo, maka kami akan terjebak macet. Dan akhirnya, kami melewati jalan kecil, yang sebelumnya tidak sempat kuketahui.
Keluar dari jalan itu, ternyata kami tiba di komplek Lapangan Udara Sulaiman. Dan tak disangka, jalanan tampak kosong melompong. Segeralah kami menarik gas untuk menambah kecepatan.
Singkat cerita, kami sampai di jalan raya Soreang-Ciwidey. Mendengar nama itu, rasanya jantungku semakin berdegup kencang untuk semakin menjadi-jadi menambah kecepatan motor ini. Ciwidey, lokasi Wana Wisata Kawah Putih semakin dekat. Tapi bagaimana pun, ketiga motor yang dinaiki teman-temanku lebih cepat. Lantas, aku sering ketinggalan.
Tiba di daerah tebing-tebing gunung. Jalanan pun mulai menanjak, pertanda tujuan semakin dekat. Tak disangka, perjalanan pun dihentikan. Sang kapten perjalanan, Ikhsan, menghentikan laju kendaraan. Katanya beberapa ratus meter di depan, ada polisi sedang melakukan razia. Dan kedua sopir motor diantara kami, Lukman dan Kahfi, tak membawa SIM. Ada-ada saja ya mereka. Lantas kami pun memutar arah, dan memasuki sebuah jalan kecil. Jalanannya cukup curam, melebihi jalan raya tadi. Belokan tajam dan tanjakan yang curam menjadi konsumsi bersama di sana. Ternyata, itu jalan alternatif di bukit sebelah jalan raya tadi. Kami pun melewati jembatan gantung yang dulunya jadi perlintasan kereta api. Pemandangan indah di bawahnya menggetarkanku untuk melihatnya. Tapi sayang sekali, aku sedang berkendara motor. Aku takut konsenstrasiku dalam berkendara berkurang, dan itu membahayakan. Tak dapat kubayangkan bila kudapati pemandangan indah itu, lalu terpesona, lalu kehilangan konsentrasi, dan akhirnya jatuh ke bawah, ke permukaan sawah-sawah atau bahkan ke permukaan aliran sungai yang penuh dengan batu-batu. Beuh.
Akhir jalan kecil itu pun tampak di depan mata kami, sekaligus beberapa orang warga. Ternyata mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan para polisi tadi. Mereka melakukan razia. Tapi ini lebih baik daripada jika berhadapan dengan polisi. Mereka hanya menarik dua ribu rupiah saja untuk menempuh jalan alternatif anti polisi itu.
Perjalanan pun dilanjutkan. Menyusuri jalan raya tadi, akhirnya kami sampai di pusat kota Kecamatan Ciwidey. Dan itu pertanda tujuan semakin di depan mata. Kami lewati terminal dan pasar Ciwidey. Tak disangka, jalanan menanjak dan berkelok-kelok memaksa motor kami-maksudnya motorku dengan susah payah mencoba menempuhnya.
Rasanya motor tuaku ini masih punya tenaga untuk mencapai lokasi Kawah Putih. Meski aku sempat digelisahkan dengan bensin yang hampir habis, motor ini tetap berjalan, walau dengan tergopoh-gopoh. Yang kukhawatirkan, motor ini kehabisan bahan bakar dan waktu itu kami berada dalam rimbunnya hutan gunung Patuha, yang juga tidak terlihat ada pom bensin.
Perasaanku ini rasanya semakin menyerah. Bensin hampir habis. Tenaga motor melemah. Kupikir, satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan, tidak ada cara lain selain motor itu didorong. Aku dilema. Apa mungkin aku mesti mendorong motor ini ke lokasi. Apa jadinya bila aku sampai di sana, malah terbaring lemah. Bukannya berlibur, malah numpra. Ah, rasanya tidak mungkin. Tapi, keadaannya seperti ini. Apa boleh buat, tidak ada jalan lain.
Sekitar lima ratus meter kemudian, sebuah plang besar. Lebih besar daripada plang iklan-iklan rokok yang berada di jalan raya, bertuliskan. Selamat Datang di Wana Wisata Kawah Putih. Segala keresahanku hancur. Berganti semangat membara seorang pahlawan era kemerdekaan. Tiba-tiba aku merasakan aura yang tinggi dalam tubuh ini. Tubuhku terasa panas membara, meski hawa dingin di tempat itu menusuk-nusuk. Akhirnya, kami sampai. Kami sampai dengan selamat sentosa. Sesuai do’a yang tadi kami semua harapkan.
Tak sabar aku ingin segera masuk ke lokasi. Terima kasih motorku. Dari tadi aku yakin kau pasti bisa. Segera tanpa berlama-lama aku mengisi bahan bakar motor ini. Kebetulan, ada penjual bensin eceran.
Segera kami parkirkan motor. Tak lama seorang pria memberikan setumpuk masker - atau sejumlah kami saat itu pada salah seorang temanku, Idah. Lantas ia dengan berbangga hati mengucapkan terima kasih. Belum kami melangkahkan kaki menuju loket, teman dari pria tadi menghampiri kami. Ternyata, masker tadi tidaklah gratis. Ia menagih uang pembayarannya. Kami pun kebingungan. Sudahlah, kami serahkan kembali masker itu padanya. Kami tak berniat membelinya. Dan Heri menjadi juru diplomasi pada orang itu. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan untuk membeli tiket masuk.
Aku lihat pemandangan yang tak biasa. Banyak sekali mobil yang menyerupai angkot. Aku kira itu odong-odong - wahana permainan terlaris bagi balita, karena mirip lah. Ternyata bukan. Itu kendaraan yang mengantarkan kami menuju puncak gunung. Serentak kami pun menaikinya.
Pemandangan jalan menuju puncak cukup indah. Kanan kiri dirimbuni pohon-pohon besar. Jalan pun cukup bagus karena diaspal rapih. Tidak seperti sebagian jalan di Kota Bandung. Bolong-bolongnya itu lho yang membuat para pengendara tak berani melaju kencang di jalanan Bandung. Mungkin itu sedikit trik dari aparatur negara untuk mendisiplinkan para pembalap ilegal. Tapi, ketika ada yang celaka, siapa yang salah? Sudahlah.
Udara pun semakin dingin. Suhu udara yang berkisar 10 °C menusuk tulang-tulang kami. Mobil bak odong-odong itu melaju dengan kecepatan yang tak diduga-duga. Itu mengingatkan temanku, Hafiz pada mobil elf di Sukabumi. Kecepatannya yang tinggi di jalanan yang sempit, membuat elf-elf itu dinamai “mobil setan”. Dan itu tak jauh berbeda dengan mobil yang kami tumpangi. Bahkan diantara kami, Nesya, serasa menaiki roller coaster.
Sampailah kami di puncak gunung, dengan perasaan yang memuncak-muncak. Rintik-rintik kecil air hujan menetes di sekujur tubuh kami. Katanya, curah hujan tahunan di sana tercatat sekitar 4.043 mm/tahun. Kami segera menaiki tangga yang mengantarkan kami menuju kawah, Kawah Putih. Dan ternyata, itulah Kawah Putih, kawah yang tingginya 2.434 mdpl. Kawah yang memiliki banyak legenda.
Bahkan diceritakan, kawasan puncak gunung Patuha itu dianggap angker. Dulu tak ada yang berani menginjakkan kakinya di sana. Sehingga keindahan Kawah Putih tak pernah ada yang tahu. Sampai pada tahun 1837, seorang Belanda peranakan Jerman bernama Dr. Franz Wilhelm Jungkuhn mengadakan perjalanan ke sekitar Bandung Selatan, tempat dimana gunung Patuha ini berada. Dan ketika sampai di wilayah itu, ia merasakan kesunyian yang luar biasa. Ia tidak merasakan adanya satu pun hewan yang melintasi daerah itu.
Dan hingga kini, misteri Kawah Putih terus saja berkembang dari generasi hingga generasi. Masyarakat setempat masih mempercayai bahwa puncak Gunung Patuha - yang kerap juga disebut Gunung Sepuh (Tua) karena Patuha dianggap berasal dari kata Pak Tua adalah tempat berkumpulnya roh para leluhur. Itulah yang dituturkan oleh kuncen Abah Karna yang sekarang berumur ± 105 tahun dan bertempat tinggal di Kampung Pasir Hoe, Desa Sugih Mukti. Roh leluhur itu diantaranya: Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom, dan Eyang Jambrong. Dan salah satu puncak gunung ini, Puncak Kapuk, dipercaya sebagai tempat  rapat para leluhur yang dipimpin oleh Eyang Jaga Satru. Bahkan, di tempat ini masyarakat  sesekali melihat (secara gaib) sekumpulan domba berbulu putih (domba lukutan) yang dipercaya sebagai penjelmaan dari para leluhur.
Saat kami segera mendekat ke dasar kawah, kami berada pada keadaan yang begitu takjub. Tampak di sana sebuah danau. Danau berwarna putih kehijauan. Yang kukira, itu terbuat dari pembiasan cahaya antara belerang putih/kapur dan lumut yang hidup di sana. Entahlah, aku tidak begitu tahu. Soalnya, di dasar kawah hanya hidup satu jenis tumbuhan saja, yaitu tumbuhan Vaccinium. Itu adalah pohon yang khas dan hidup di sekitar dasar kawah.
Setelah berfoto ria - sebuah aktivitas yang tak bisa kami lewatkan di tempat seindah itu, kucoba mendekati danau. Aku begitu penasaran ingin menyentuh air danau itu. Ternyata, airnya hangat. Itu sangat mengingatkanku pada kolam renang hangat di Cipanas, Garut. Rasanya dalam udara sedingin ini aku ingin berenang di sana. Tapi itu tidak mungkin. Ini danau belerang. Mau jadi apa aku setelah berenang di sini?
Kami pun berkeliling di sekitar dasar kawah. Kami menemukan sebuah gua. Katanya itu gua Belanda. Bisa-bisanya ya dihubung-hubungkan dengan Belanda. Entahlah, aku tidak tahu itu buatan siapa. Yang pasti di depan gua itu dipagari batang-batang pohon Vaccinium, dan di atasnya terdapat tulisan “Berbahaya jangan terlalu lama diam di depan gua”. Kenapa? Karena itu gua Belanda? Atau mungkin lebih karena tercium kandungan belerang yang begitu kuat di sana. Apalagi waktu itu sedang hujan. Yang katanya aroma belerang akan semakin kuat saat hujan atau malam hari.
Cukup lelah karena tak sempat beristirahat sejak tiba di sana, kami sedikit meregangkan tubuh di bawah pohon-pohon yang tampak begitu kering. Dan, kesempatan untuk berfoto-foto di sana tak kami lewatkan.
Setelah cukup meghirup udara segar bercampur aroma belerang di Kawah Putih, segera kami berinisiatif untuk segera meninggalkan tempat dan, pulang. Kami tak mau berlama-lama di sana. Katanya, berada di dasar kawah maksimal sampai 45 menit, karena bau belerangnya yang cukup berbahaya.
Dulu, di kawasan inilah asal mulanya berdiri pabrik belerang yang pada zaman penjajahan Belanda bernama: Zwavel Ontgining Kawah Putih. Bahkan setelah Indonesia dikuasai oleh Jepang, pabrik ini tetap dilanjutkan tetapi dengan nama yang berbeda. Kawah Putih kenzanka Yokoya Ciwidey, yang dikuasai oleh militer waktu itu.
Segera lah kami menaiki mobil odong-odong tadi. Dan seperti biasa, lajunya seperti “setan”. Dalam perjalanan menuju lokasi parkir, kami tak sempat melihat banyak hewan di hutan yang dilewati mobil itu. Katanya, Kawah Putih merupakan habitat bagi 103 jenis burung. Diantaranya burung Bubut – pacar jambul yang berukuran cukup besar. Ada juga burung kecil jenis Sikatan dada merah yang hampir punah. Bahkan, lambang negara kita, burung Elang Jawa atau lebih dikenal dengan burung Garuda sempat ditemukan di habitat Kawah Putih ini. Dan terdapat pula hewan lainnya seperti ular sanca, surili, harimau dan serigala.
Kami pun bergegas menuju tempat dimana motor kami diparkirkan. Hari sudah semakin gelap. Dan hujan di atas kawah, sepertinya sudah sampai di dinding gunung ini, tepat di gerbang masuk wana wisata ini. Serentak, dan rasanya berniat untuk kembali, kami meninggalkan lokasi yang memiliki panorama yang begitu indah itu. Perjalanan pun selesai dan kami segera pulang.