Langit tampak kelabu. Seiring lajuku bersama motor kesayanganku, kelihatannya langit pun semakin gelap lagi. Awan hitam tanpa kusadari telah memenuhi ruang bebas di atas sana. Pikiranku yang nyaman dengan perjalanan ini, bagaimana pun, rasanya semakin gusar saja melihat keadaan alam ini.
Pertanda air langit akan segera mengeroyokku. Kulihat di depanku beberapa mobil menghiasi kelengangan jalan ini, mereka kelihatan tenang. Motor-motor berlabuh di dekat badan jalan, tampak para pengemudinya membuka
bagasi untuk mengambil rain coat, dan memakainya.
Benakku
sempat kacau. Tetesan air hujan sudah terasa di tangan. Dan tak lama, curahnya
semakin tinggi. Bingung. Aku tak bisa ikut berhenti layaknya pengemudi motor lain,
bila hanya untuk sekedar memakai jas hujan. Aku tak membawanya. Ku ingat jas
itu dipinjam teman sekelas kemarin sore. Tapi, aku pun tak bisa meneruskan
perjalanan. Rasanya bukan hal yang bagus bila ku korbankan pakaianku. Aku tak
mau tiba di rumah dengan pakaian yang basah. Yang ada, ibu marah-marah lagi.
Akhirnya ku putuskan, untuk menepi di sebuah warung kopi. Kuanggap seperti itu
karena di sana ada transaksi antara orang-orang dengan si penjual untuk sekadar
menghangatkan tubuh dengan kopi. Lalu ada juga sebuah banner, mungkin
lebih menyerupai papan tambalan. Ukurannya kira-kira 40 cm x 25 cm, bertuliskan
‘Warkop Bu Yeyen’ dengan cat merah. Ya, walau sebenarnya tempat itu tak
terlihat seperti warung, lebih menyerupai saung. ‘Sangkop Bu Yeyen’ mungkin
tepatnya.
Kuanggap
orang-orang di sana bernasib sama denganku. Sorot mata mereka terlihat
menyibakkan kekesalan pada hujan yang tidak mereka harapkan. Tak ada
pembicaraan untuk sekadar menghidupkan suasana. Memang tak ada hal yang mesti
dibicarakan.
Di
sampingku ada seorang pria tua. Kutebak umurnya sudah mencapai kepala lima. Dia
terlihat gelisah. Kucoba untuk pecahkan kesunyian, “Pak!”. Semua orang di sana
melihatku. Mungkin pikir mereka, aku merusak ketenangan. Aku tak peduli.
Kulanjutkan pembicaraan, “Maaf mengganggu, kelihatannya bapak begitu gelisah?”
Dia tak menjawab, melainkan hanya tersenyum. Rasanya ia tak mau diganggu.
Akhirnya kuurungkan niatku untuk sedikit empati padanya.
Ponselku
bergetar. Ada SMS. Kulihat itu dari ibu. Ia tak ada di rumah sore ini. Besok
pagi ia baru pulang ke rumah. Ia mengantar ayah ke bandara untuk dinas luar
kotanya. Aku hendak membalas SMS-nya, tapi aku teringat bahwa pulsaku habis
tadi pagi. Kubiarkan saja SMS itu lalu kututup ponselku, dan menyimpannya di
samping pahaku.
Hujan
masih menampakkan keganasannya. Ia membawa serta angin kencang untuk menghantam
kehidupan di tempat ini. Tak ada seorang pun, kecuali orang-orang di warung
itu. Hanya satu dua mobil saja yang lewat.
Kulihat
pohon rambutan di halaman rumah seberang jalan, terombang-ambing dengan begitu
mengkhawatirkan. Atap seng warung itu pun menimbulkan efek suara yang tak
nyaman untuk didengar. Lubang-lubangnya, perlahan tapi pasti memberikan
kesempatan pada air hujan untuk menetes di celanaku. Tapi ini lebih baik
daripada aku harus mengguyur tubuhku.
Kuputuskan
untuk membeli kopi, “Bu, pesen kopi ABC Mocca nya satu!” “Iya, tunggu
sebentar de.” jawab pemilik warung itu dengan ramah.
Tak
sampai aku mencapai kursi untuk kembali duduk, seorang pengemudi dengan motornya terjatuh di jalan seberang. Lantas itu membuat orang-orang yang dari
tadi duduk santai dengan seduhan kopi dan kepulan asap rokoknya, terperangah
dan bangkit untuk langsung menolong. Pengemudi itu terlempar sekitar enam kaki
dari TKP. Aku teringat, di sana ada lubang yang menganga kurang lebih 40 cm
dengan kedalaman 10 cm. Sepertinya hujan deras ini membuatnya tak
berkonsentrasi untuk memperhatikan jalanan.
“Aduh
siah cilaka, gewat tulungan!” seru
seseorang sambil berlari ke TKP.
“Heeh,
hayu urang tulungan!” bilang entah
siapa.
Aku
tak refleks layaknya orang-orang di sekitarku. Lagi-lagi pikiranku konflik. Aku
mau menolongnya, tapi ini hujan besar. Aku tak ingin basah-basahan. Aku
bingung, dan membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila kuputuskan
satu pilihan. Kutatap sekelilingku, hanya ada aku dan ibu pemilik warung di
belakangku. Akhirnya, ku tetap diam di warung, rasanya cukup bagiku menjadikan kecelakaan
ini sebagai sebuah tontonan. Lagipula tujuh orang penolong sudah cukup membantu
korban untuk kembali bangkit.
Kuteringat
pria tua yang hendak kutanyai tadi. Sepertinya ia ikut menolong juga.
Kuprediksikan ia orang yang kuat. Dalam segala kegelisahannya, ia tetap
berempati pada orang lain.
Para
penolong itu segera menepikan korban ke warung. Kelihatannya korban pingsan.
Mereka pun sepertinya memercayakan motor korban ke salah seorang pemuda.
Terlihat sebelumnya ada pembicaraan diantara mereka. Lalu pemuda itu mencoba
membangkitkan motor korban, yang kelihatannya tak rusak-rusak amat. Ia terlihat
untuk terdiam sejenak di TKP. Lalu pandanganku tertuju pada korban yang sudah
dibaringkan di kursi yang tadi kami duduki. Ia mengalami lecet yang cukup parah di tangan kirinya. Celananya
yang sobek menampakkan lutut kirinya yang berdarah. Aku cukup khawatir dengan
keadaannya. Untung saja ia memakai helm SNI. Soalnya terlihat gesekan yang
parah di helm itu.
Sementara
korban diurus terlebih dulu oleh si ibu pemilik warung, kulihat orang-orang
tadi bergumul mengelilingi korban. Tampaknya ada yang janggal. Kuhitung, mereka
hanya ada lima orang. Ditambah satu pemuda tadi, jadi enam orang. Sepertinya
ada yang hilang. Kucari pria tua yang hendak kusapa tadi. Ia tidak ada. Ia
menghilang. Batinku sedikit terperangah. Kemana ia? Kutolehkan pandangan ke
jalan, TKP tadi. Pemuda tadi pun menghilang, motornya juga. Ada apa ini? Apa ia
mencuri motor itu? Aku bingung. Aku tak mendengar suara motor bergemuruh.
Rasanya hal ini sungguh tak dapat diterima.
Kucoba
menanyakan pada ibu pemilik warung, tapi kelihatannya ia sangat sibuk. Lalu
kutanya salah seorang dari kelima penolong itu.
“Pak,
maaf ganggu!”
“Ada
apa?” jawabnya.
“Bapak
lihat pria tua yang tadi duduk di sebelah saya?” tanyaku keheranan.
“Tidak.”
“Kalau
orang yang tadi bawa motor korban?”
“Tidak”
jawabnya singkat lagi.
“Kira-kira
mereka kemana ya pak?” tanyaku meyakinkan.
“Kan
saya udah bilang tidak lihat. Gimana sih?” jawabnya kesal.
Kutarik
langkahku ke belakang. Aku duduk di kursi kecil di pojok warung. Aku masih
bingung dengan semua kejadian ini. Aku tak berani berkata-kata lagi pada
mereka. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres di sini.
Hujan
reda. Satu demi satu orang-orang meninggalkan warung. Korban mereka titipkan ke
pemilik warung. Aku pun hendak meninggalkan tempat ini. Kuperiksa
barang-barangku. Aku kaget. Ponselku tidak ada. Kuraba-raba seluruh saku di
celana dan pakaianku. Hasilnya tidak ada. Kucoba mencari di tasku. Tetap tidak
ada. Kuperiksa kursi tempat dudukku tadi serta kolong-kolongnya. Tetap saja
tidak kutemukan ponselku. Akhirnya kutanyakan pada si ibu pemilik warung.
“Maaf
bu, lihat ponsel saya tidak?”
“Nggak
de. Ponselnya hilang?” tanyanya balik.
“Iya
bu.”
“Udah
ade tanyain ke orang-orang tadi?”
“Nggak
sempet bu. Tadi pas saya tanya mereka, malah sinis jawabnya.” jelasku
dengan kebingungan. “Motor korban ini juga kan hilang bu.”
“Hilang?
Masa iya? Gimana bisa?” tanyanya terkaget-kaget.
“Saya
juga nggak tahu kemana bu.” jawabku.
Pemilik
warung itu tak melontarkan kata-kata apapun lagi. Tampak dari sorot matanya
yang menyiratkan ketidakpercayaan.
Aku
tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua ini terlalu berlebihan. Sejak hujan besar
yang tak biasa. Pria-pria yang tak berbicara. Kecelakaan motor. Orang hilang.
Bahkan ponselku juga.
Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan warung itu meski dengan hati yang kesal sekaligus keheranan. Kuucapkan salam perpisahan pada pemilik warung. Namun, ia tak mengeluarkan ekspresinya. Bahkan ia tak melihatku sedikit pun.
0 komentar:
Posting Komentar