Senin, 18 Mei 2015

Awalnya, aku sedang tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Aku dilanda suatu musibah kebosanan karena tak ada yang bisa dilakukan dan lelah untuk menunggu. Akhirnya sesuatu menarik perhatianku dan membuat aku dapat melakukan sesuatu. Yaitu memperhatikan seorang necis di seberang sana yang sepertinya sedang berjalan ke arah halte ini. Pakainnya rapih. Kemeja putih polos dan berjas hitam. Dasinya biru. Rambutnya berkilauan, disisir menjadi terbelah dua. Belahan yang mengarah ke kanan lebih besar daripada yang satunya lagi. Mungkin gambaran tersebut cukup untuk menjelaskan apa pekerjaan dia karena tidak baik juga saya harus menjelaskan anggota tubuhnya yang lain.

Ia sampai dan duduk di sebelahku. Tak lama, kulirik ia mengambil ponselnya dari saku celana. Ia menulis beberapa nomor dan mulai berbicara dengan seseorang di balik ponsel tersebut.

“Halo. Pak, saya sedang menunggu bus kota di halte sekitar daerah Sarijadi.” Aku yang sedari awal memperhatikan gerak geriknya mana mungkin ketinggalan pembicaraannya. Lagipula, meskipun tidak berniat menguping, suara sedekat itu mustahil tidak terdengar. Daripada membuat curiga, aku pun meniru orang tersebut dan mulai membuka ponselku untuk mengakses permainan.

Belum sampai kusentuh ikon permainan yang kutuju, sebuah panggilan datang. Panggilan ini dari atasanku di kantor.

“Halo,” ucapku memulai percakapan.

“Gimana sih, kamu?” Nadanya tinggi. “Mana ada liputan mengenai kecelakaan bahasanya alay begini. Kamu, kan, sudah tahu bagaimana penempatan bahasa dalam berita. Masa begini saja kamu tidak bisa.” Ia bercerocos tanpa basa-basi. Dan saya tidak merasa melakukan apa yang dituduhkannya.

“Saya tidak..” Penjelasanku dipotong.

“Sudah. Kamu tidak perlu beralasan. Sekarang daripada hasil kerjamu saya laporkan dan akhirnya gajimu dipotong, buat liputan baru untuk mengisi halaman ‘Berita Lokal Bandung’ sekarang juga.”

“Tapi, pak, saya..”

“Sudah kubilang langsung saja cari objek liputan sekarang juga. Hari ini, kan, batas pengiriman akhir liputanmu.”

“Sebentar, pak. Saya mohon berbicara sebentar.” Supaya tidak dipotong lagi. Pembicaraanku barusan kuucap dengan cepat.

“Apa?”

“Bagian liputan saya minggu ini bukan tentang kecelakaan. Dan liputan yang bapak maksud sepertinya bukan liputan saya,” jelasku dengan tenang. “Barangkali bapak bisa cek kembali draf mengenai jobdes reporter minggu ini. Maaf kalau saya lancang..”

“Masa sih? Sebentar, saya cek dulu.” Jawabnya. “Kalau begitu nanti saya telepon lagi.” Tanpa basa-basi dering panjang menandakan panggilan berakhir berbunyi begitu saja. Tanda hubungan diakhiri.

Kulanjutkan kembali untuk mengakses permainan. Sepertinya di saat bosan begini, permainan yang paling menarik adalah permainan simpel yang tidak butuh beban berpikir yang berat. Permainan semacam endless run sepertinya pilihan yang menarik. Ada beberapa permainan bergenre itu di ponselku. Ada Subway Surfer, Sonic 3D, Stick Run, dan Yamakasi.

Apa, ya?

“Anda bermain Clash of Clans?” Pria berpakaian rapih tadi bertanya kepadaku. Sepertinya ia mengintipku yang sedang mencari-cari permainan.

Lalu dengan sedikit kaget aku mencerna pertanyaannya. “Klee Solve Can? Maksudnya?”

COC. Didn’t you know yet?” Sepertinya ia sangat kaget dengan jawabanku. “Oh tidak. Mengapa masih ada orang di dunia ini yang tidak tahu permainan itu?” Dia bertanya dan sepertinya bukan kepadaku. Dia bertanya mungkin kepada dirinya sendiri atau kepada angin, yang pasti dia tidak melihat padaku saat mengajukan pertanyaan itu.

“Benarkah anda tidak tahu permainan itu? Itu permainan strategi paling trending topic abad ini, dan anda tidak tahu?” Tanyanya sekali lagi.

“Ya. Aku benar-benar tidak tahu.” Jawabku singkat. “Anda mau menjelaskannya?” Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menanyakan permainan sejenis apa itu. Yang aku rasa, mungkin itu semacam permainan di android, berhubung aku yakin dia mengintipku saat memilih-milih permainan di android.

“Oke, begini, ya..”

Teleponku berdering. “Yah, mohon maaf saya potong. Ini ada telepon masuk.”

“Okelah.” Jawabnya ketus disertai alis yang diangkat dan pandangan mata yang mengedar-edar.

“Halo, pak. Bagaimana sudah dicek?”

“Iya sudah.” Nadanya santai. Jauh berbeda dengan panggilannya yang pertama. “Sepertinya saya salah.” Bukan sepertinya, memang anda salah. “Setelah saya cek, liputanmu untuk minggu ini bagus dan mendapatkan nilai A di draf laporan mingguan saya. Dan untuk liputan kecelakaan itu ternyata liputannya si Tendi.”

“Baiklah kalau begitu, pak. Dan terima kasih atas penilaiannya. Ada lagi yang mau bapak sampaikan?”

“Tidak. Mungkin itu saja.”

“Oke.” Dering panjang itu berbunyi lagi bahkan mungkin sebelum aku bilang “oke”.

Kulihat ke samping kiriku dan pria necis tadi sudah menghilang. Aku pikir dia sedang menunggu bus kota datang. Tetapi kenapa pergi begitu saja? Mungkin dia pergi mencari makanan atau minuman. Entahlah tidak mesti aku pikirkan.

Akhirnya aku melanjutkan niatku untuk bermain game. Aku sudah punya pilihan. Dan pilihan itu jatuh ke Stick Run. Permainan ini ringan dan tidak menghabiskan banyak stok RAM di ponselku yang sederhana. Maka permainannya dipastikan lancar dan tidak nge-lag.

Klik. Sebuah tampilan muncul dan kutunggu sampai keluar opsi permainan.

Tooot. Suara klakson berbunyi kencang. Tanda bus kota sudah datang. Yah, gila saja. Dari tadi aku diganggu banyak hal. Padahal aku hanya ingin bermain game.

Aku pun segera berdiri dan bergegas untuk memasuki bus tersebut. Aku edarkan dulu pandangan ke sekitar, takut ada yang ketinggalan.

Setibanya di hadapan pintu bus kota, aku berhenti berjalan karena teringat sesuatu. Bukannya sejak awal aku sedang menunggu datangnya bus kota? Tapi ketika bus itu datang, mengapa aku mengeluhkannya gara-gara ada pekerjaan lain yang itu bukan niat awalku?

Seseorang dari belakangku menepuk punggungku. “Pak, kenapa tidak segera masuk?”

Oh iya, aku lupa. Aku, kan, mau naik bus.


Posted on Senin, Mei 18, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 10 Mei 2015

Saat waktu berjalan mundur, Hikmat pun mengikutinya. Ia menapaki jejak demi jejak kakinya untuk mencari batu akik milik pacarnya yang terjatuh. Ia menyesali kenapa dia bisa begitu ceroboh, padahal batu tersebut merupakan batu pemberian ayah Hikmat yang telah meninggal dunia. Rani, pacarnya Hikmat, memang disayangi ayah Hikmat karena ketulusannya dalam mencintai Hikmat, anak semata wayangnya. Rani selalu mengerti kondisi Hikmat, bagaimana pun keadaannya.

Suatu waktu, “Mat, tadi aku ketemu sama Ayah di pasar. Dia menitipkan ini buatmu.” Rani menyodorkan tangannya. Hikmat mengambil sehelai uang lima puluh ribu dari tangan Rani. Ia melirik wajah Rani yang sedang tersenyum.

“Terima kasih, Ran.” Hikmat membalas senyum Rani.

Lalu ia mengajak Rani untuk pergi ke Taman Musik, kurang lebih sepuluh menit dengan naik motor.

“Ran, aku lapar,” ungkap Hikmat setibanya di tempat parkir di depan sebuah sekolah menengah atas negeri di seberang Taman Musik. Matanya hilir mudik mencari penjual makanan. Dan ia mendapati tukang lontong kari sapi sedang berjalan mendorong rodanya ke arah mereka. “Kita beli itu, ya,” ajak Hikmat pada Rani.

“Aku tidak lapar,” ungkap Rani sambil memegang perutnya.

“Pesan saja setengah,” Hikmat memaksa.

“Ya sudah aku pesan seperempat saja.”

“Mana ada ukuran segitu?”

“Bisa saja.”

“Daripada segitu, mending gak usah pesan sekalian.”

“Bukannya aku sudah bilang bahwa aku tidak lapar.”

“Ya sudah. Kamu boleh pesan seperempat,” Hikmat akhirnya menyerah.

Pedagang tersebut akhirnya sampai di dekat mereka.

“Mang, pesan dua piring. Yang satu porsi penuh. Yang satu lagi seperempat porsi.” Lalu ia menengok pada Rani, “Kamu pakai sambal?”

Rani mengangguk.

Hikmat melanjutkan pesanannya pada pedagang itu, “Berarti yang porsi penuh tidak pakai sambal, yang satu lagi pakai.”

Hikmat menengok lagi pada Rani. “Banyak?”

“Apanya?” jawab Rani.

“Sambalnya.”

“Sedikit saja.”

“Sedikit, mang,” lanjut Hikmat.

“Yah, habis, kang.” Jawab pedagang lontong kari itu.

“Apa?” Sentak Hikmat. “Kenapa tidak bilang dari tadi?”

“Akang-nya bicara terus,” bilangnya dengan ekspresi datar. “Jadi saya tidak ada kesempatan buat berbicara.”

“Sudah.. Sudahlah.. Pergi sana,” Hikmat memalingkan mukanya ke arah Rani.

“Biasa aja keleus,” jawab pedagang itu sambil berlalu.

“Kenapa begitu berlebihan?” Rani menegur Hikmat. Tangannya melipat di atas perut. Kedua alis matanya hampir bertemu. Lalu ia mengendus napas kecil.

“Aku biasa saja,” lalu Hikmat menarik tangan Rani dan membawanya pulang.

***

Hikmat tersentak dalam pencarian batu akiknya setelah melihat kilau-kilau cahaya di dasar sebuah selokan yang kering dekat tikungan di antara rerimbun daun pepohonan. “Akhirnya,” gumam Hikmat. “Ran, aku menemukannya.” Ia melompat ke dasar selokan.

“Mana?” Sahut Rani di seberang jalan.

“Ke sini, cepat.”

Kita bisa melihat bagaimana senangnya Rani atas penemuan batu akik yang hilang terjatuh karena kecerobohan Hikmat. Saking senangnya, ia tak sadar terhadap suara klakson mobil yang terdengar begitu dekat baginya. Rani dihantam bagian kanan sebuah truk dan seketika terlempar ke arah trotoar. Mobil itu akhirnya melaju dengan kecepatan tinggi dan menghilang tanpa jejak.

Hikmat yang sedang berjongkok di dasar selokan seketika berdiri mendengar jeritan Rani. Batu akik yang sudah dipungutnya terlempar ke sembarang arah. Hikmat segera melompat dan menghambur untuk melihat kondisi Rani di seberang jalan. Napasnya terengah-engah. Jantungnya berdegup cepat. Tanggul air matanya jebol saat ia tiba di hadapan Rani. Ia menangis terisak-isak dan berteriak meminta tolong. Tidak ada pejalan kaki di sana kecuali para pengendara motor yang berhenti untuk melihat keadaan.

Hikmat mengangkat tubuh Rani dan menyandarkannya di dada. Ia sadar, hanya ada satu ritme detak jantung di sana. Detak jantungnya saja. Hikmat pun memeluk erat Rani yang telah bersimbah darah.

Posted on Minggu, Mei 10, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 03 Mei 2015

Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa sedih dengan kondisi keluarganya yang cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi. 

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya. 

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang. 

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis. 

Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa menyesal meski kondisi keluarganya cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi.

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya.

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang.

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis. 

Posted on Minggu, Mei 03, 2015 by Unknown

No comments