Awalnya, aku sedang tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Aku dilanda
suatu musibah kebosanan karena tak ada yang bisa dilakukan dan lelah untuk
menunggu. Akhirnya sesuatu menarik perhatianku dan membuat aku dapat melakukan
sesuatu. Yaitu memperhatikan seorang necis
di seberang sana yang sepertinya sedang berjalan ke arah halte ini. Pakainnya rapih.
Kemeja putih polos dan berjas hitam. Dasinya biru. Rambutnya berkilauan,
disisir menjadi terbelah dua. Belahan yang mengarah ke kanan lebih besar
daripada yang satunya lagi. Mungkin gambaran tersebut cukup untuk menjelaskan
apa pekerjaan dia karena tidak baik juga saya harus menjelaskan anggota
tubuhnya yang lain.
Ia sampai dan duduk di sebelahku. Tak lama, kulirik ia
mengambil ponselnya dari saku celana. Ia menulis beberapa nomor dan mulai
berbicara dengan seseorang di balik ponsel tersebut.
“Halo. Pak, saya sedang menunggu bus kota di halte sekitar daerah
Sarijadi.” Aku yang sedari awal memperhatikan gerak geriknya mana mungkin
ketinggalan pembicaraannya. Lagipula, meskipun tidak berniat menguping, suara
sedekat itu mustahil tidak terdengar. Daripada membuat curiga, aku pun meniru
orang tersebut dan mulai membuka ponselku untuk mengakses permainan.
Belum sampai kusentuh ikon permainan yang kutuju, sebuah
panggilan datang. Panggilan ini dari atasanku di kantor.
“Halo,” ucapku memulai percakapan.
“Gimana sih, kamu?” Nadanya tinggi. “Mana ada liputan
mengenai kecelakaan bahasanya alay begini.
Kamu, kan, sudah tahu bagaimana penempatan bahasa dalam berita. Masa begini
saja kamu tidak bisa.” Ia bercerocos tanpa basa-basi. Dan saya tidak merasa
melakukan apa yang dituduhkannya.
“Saya tidak..” Penjelasanku dipotong.
“Sudah. Kamu tidak perlu beralasan. Sekarang daripada hasil
kerjamu saya laporkan dan akhirnya gajimu dipotong, buat liputan baru untuk
mengisi halaman ‘Berita Lokal Bandung’ sekarang juga.”
“Tapi, pak, saya..”
“Sudah kubilang langsung saja cari objek liputan sekarang
juga. Hari ini, kan, batas pengiriman akhir liputanmu.”
“Sebentar, pak. Saya mohon berbicara sebentar.” Supaya tidak
dipotong lagi. Pembicaraanku barusan kuucap dengan cepat.
“Apa?”
“Bagian liputan saya minggu ini bukan tentang kecelakaan. Dan
liputan yang bapak maksud sepertinya bukan liputan saya,” jelasku dengan
tenang. “Barangkali bapak bisa cek kembali draf mengenai jobdes reporter minggu ini. Maaf kalau saya lancang..”
“Masa sih? Sebentar, saya cek dulu.” Jawabnya. “Kalau begitu
nanti saya telepon lagi.” Tanpa basa-basi dering panjang menandakan panggilan
berakhir berbunyi begitu saja. Tanda hubungan diakhiri.
Kulanjutkan kembali untuk mengakses permainan. Sepertinya di
saat bosan begini, permainan yang paling menarik adalah permainan simpel yang
tidak butuh beban berpikir yang berat. Permainan semacam endless run sepertinya pilihan yang menarik. Ada beberapa permainan
bergenre itu di ponselku. Ada Subway
Surfer, Sonic 3D, Stick Run, dan Yamakasi.
Apa, ya?
“Anda bermain Clash of
Clans?” Pria berpakaian rapih tadi bertanya kepadaku. Sepertinya ia
mengintipku yang sedang mencari-cari permainan.
Lalu dengan sedikit kaget aku mencerna pertanyaannya. “Klee Solve Can? Maksudnya?”
“COC. Didn’t you know yet?” Sepertinya ia
sangat kaget dengan jawabanku. “Oh tidak. Mengapa masih ada orang di dunia ini
yang tidak tahu permainan itu?” Dia bertanya dan sepertinya bukan kepadaku. Dia
bertanya mungkin kepada dirinya sendiri atau kepada angin, yang pasti dia tidak
melihat padaku saat mengajukan pertanyaan itu.
“Benarkah anda tidak tahu permainan itu? Itu permainan
strategi paling trending topic abad
ini, dan anda tidak tahu?” Tanyanya sekali lagi.
“Ya. Aku benar-benar tidak tahu.” Jawabku singkat. “Anda mau
menjelaskannya?” Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menanyakan permainan
sejenis apa itu. Yang aku rasa, mungkin itu semacam permainan di android,
berhubung aku yakin dia mengintipku saat memilih-milih permainan di android.
“Oke, begini, ya..”
Teleponku berdering. “Yah, mohon maaf saya potong. Ini ada
telepon masuk.”
“Okelah.” Jawabnya ketus disertai alis yang diangkat dan pandangan
mata yang mengedar-edar.
“Halo, pak. Bagaimana sudah dicek?”
“Iya sudah.” Nadanya santai. Jauh berbeda dengan
panggilannya yang pertama. “Sepertinya saya salah.” Bukan sepertinya, memang anda salah. “Setelah saya cek, liputanmu
untuk minggu ini bagus dan mendapatkan nilai A di draf laporan mingguan saya. Dan
untuk liputan kecelakaan itu ternyata liputannya si Tendi.”
“Baiklah kalau begitu, pak. Dan terima kasih atas
penilaiannya. Ada lagi yang mau bapak sampaikan?”
“Tidak. Mungkin itu saja.”
“Oke.” Dering panjang itu berbunyi lagi bahkan mungkin
sebelum aku bilang “oke”.
Kulihat ke samping kiriku dan pria necis tadi sudah menghilang. Aku pikir dia sedang menunggu bus kota
datang. Tetapi kenapa pergi begitu saja? Mungkin dia pergi mencari makanan atau
minuman. Entahlah tidak mesti aku pikirkan.
Akhirnya aku melanjutkan niatku untuk bermain game. Aku sudah punya pilihan. Dan pilihan
itu jatuh ke Stick Run. Permainan ini
ringan dan tidak menghabiskan banyak stok RAM
di ponselku yang sederhana. Maka permainannya dipastikan lancar dan tidak nge-lag.
Klik. Sebuah tampilan
muncul dan kutunggu sampai keluar opsi permainan.
Tooot. Suara klakson
berbunyi kencang. Tanda bus kota sudah datang. Yah, gila saja. Dari tadi aku diganggu banyak hal. Padahal aku
hanya ingin bermain game.
Aku pun segera berdiri dan bergegas untuk memasuki bus
tersebut. Aku edarkan dulu pandangan ke sekitar, takut ada yang ketinggalan.
Setibanya di hadapan pintu bus kota, aku berhenti berjalan
karena teringat sesuatu. Bukannya sejak
awal aku sedang menunggu datangnya bus kota? Tapi ketika bus itu datang,
mengapa aku mengeluhkannya gara-gara ada pekerjaan lain yang itu bukan niat
awalku?
Seseorang dari belakangku menepuk punggungku. “Pak, kenapa
tidak segera masuk?”
Oh iya, aku lupa. Aku,
kan, mau naik bus.