Saat waktu berjalan mundur, Hikmat pun
mengikutinya. Ia menapaki jejak demi jejak kakinya untuk mencari batu akik
milik pacarnya yang terjatuh. Ia menyesali kenapa dia bisa begitu ceroboh,
padahal batu tersebut merupakan batu pemberian ayah Hikmat yang telah meninggal
dunia. Rani, pacarnya Hikmat, memang disayangi ayah Hikmat karena ketulusannya
dalam mencintai Hikmat, anak semata wayangnya. Rani selalu mengerti kondisi
Hikmat, bagaimana pun keadaannya.
Suatu waktu, “Mat, tadi aku ketemu sama Ayah
di pasar. Dia menitipkan ini buatmu.” Rani menyodorkan tangannya. Hikmat
mengambil sehelai uang lima puluh ribu dari tangan Rani. Ia melirik wajah Rani
yang sedang tersenyum.
“Terima kasih, Ran.” Hikmat membalas senyum
Rani.
Lalu ia mengajak Rani untuk pergi ke Taman
Musik, kurang lebih sepuluh menit dengan naik motor.
“Ran, aku lapar,” ungkap Hikmat setibanya di
tempat parkir di depan sebuah sekolah menengah atas negeri di seberang Taman
Musik. Matanya hilir mudik mencari penjual makanan. Dan ia mendapati tukang
lontong kari sapi sedang berjalan mendorong rodanya ke arah mereka. “Kita beli
itu, ya,” ajak Hikmat pada Rani.
“Aku tidak lapar,” ungkap Rani sambil memegang
perutnya.
“Pesan saja setengah,” Hikmat memaksa.
“Ya sudah aku pesan seperempat saja.”
“Mana ada ukuran segitu?”
“Bisa saja.”
“Daripada segitu, mending gak usah pesan
sekalian.”
“Bukannya aku sudah bilang bahwa aku tidak
lapar.”
“Ya sudah. Kamu boleh pesan seperempat,”
Hikmat akhirnya menyerah.
Pedagang tersebut akhirnya sampai di dekat
mereka.
“Mang, pesan dua piring. Yang satu porsi
penuh. Yang satu lagi seperempat porsi.” Lalu ia menengok pada Rani, “Kamu
pakai sambal?”
Rani mengangguk.
Hikmat melanjutkan pesanannya pada pedagang
itu, “Berarti yang porsi penuh tidak pakai sambal, yang satu lagi pakai.”
Hikmat menengok lagi pada Rani. “Banyak?”
“Apanya?” jawab Rani.
“Sambalnya.”
“Sedikit saja.”
“Sedikit, mang,” lanjut Hikmat.
“Yah, habis, kang.” Jawab pedagang lontong
kari itu.
“Apa?” Sentak Hikmat. “Kenapa tidak bilang dari
tadi?”
“Akang-nya bicara terus,” bilangnya dengan
ekspresi datar. “Jadi saya tidak ada kesempatan buat berbicara.”
“Sudah.. Sudahlah.. Pergi sana,” Hikmat
memalingkan mukanya ke arah Rani.
“Biasa aja keleus,” jawab pedagang itu sambil
berlalu.
“Kenapa begitu berlebihan?” Rani menegur
Hikmat. Tangannya melipat di atas perut. Kedua alis matanya hampir bertemu.
Lalu ia mengendus napas kecil.
“Aku biasa saja,” lalu Hikmat menarik tangan
Rani dan membawanya pulang.
***
Hikmat tersentak dalam pencarian batu akiknya
setelah melihat kilau-kilau cahaya di dasar sebuah selokan yang kering dekat
tikungan di antara rerimbun daun pepohonan. “Akhirnya,” gumam Hikmat. “Ran, aku
menemukannya.” Ia melompat ke dasar selokan.
“Mana?” Sahut Rani di seberang jalan.
“Ke sini, cepat.”
Kita bisa melihat bagaimana senangnya Rani
atas penemuan batu akik yang hilang terjatuh karena kecerobohan Hikmat. Saking
senangnya, ia tak sadar terhadap suara klakson mobil yang terdengar begitu
dekat baginya. Rani dihantam bagian kanan sebuah truk dan seketika terlempar ke
arah trotoar. Mobil itu akhirnya melaju dengan kecepatan tinggi dan menghilang
tanpa jejak.
Hikmat yang sedang berjongkok di dasar selokan
seketika berdiri mendengar jeritan Rani. Batu akik yang sudah dipungutnya
terlempar ke sembarang arah. Hikmat segera melompat dan menghambur untuk
melihat kondisi Rani di seberang jalan. Napasnya terengah-engah. Jantungnya
berdegup cepat. Tanggul air matanya jebol saat ia tiba di hadapan Rani. Ia
menangis terisak-isak dan berteriak meminta tolong. Tidak ada pejalan kaki di
sana kecuali para pengendara motor yang berhenti untuk melihat keadaan.
Hikmat mengangkat tubuh Rani dan
menyandarkannya di dada. Ia sadar, hanya ada satu ritme detak jantung di sana.
Detak jantungnya saja. Hikmat pun memeluk erat Rani yang telah bersimbah darah.
0 komentar:
Posting Komentar