Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa sedih dengan kondisi keluarganya yang cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi. 

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya. 

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang. 

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis. 

Asep kembali membuat dirinya menangis, seperti biasa, saat mengupas bawang. Ditemani adik perempuannya, Irma, ia tak pernah merasa menyesal meski kondisi keluarganya cukup memprihatinkan. Dalam hatinya Asep menangis. Ia pernah bilang pada dirinya sendiri bahwa ia lebih rapuh daripada tangkai-tangkai tanaman padi.

“Asep, mamah mana? Kok mamah tidak datang juga ke dapur,” sela adiknya pada lamunan Asep.

“Asep tidak tahu, Irma. Coba Irma lihat, barangkali mamah sudah ada di kamar.”

Asep kembali melanjutkan lamunannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada cita-citanya dahulu saat ayah dan ibunya belum bercerai. Ia sangat menginginkan untuk mencapai cita-cita tersebut. bahkan cita-cita itulah yang sering didongengkan ayahnya semenjak ia masih kecil. Kini Asep sudah hampir menginjak usia 22 tahun. Umur yang matang untuk seorang pemuda seperti Asep mulai merintis sedikit demi sedikit cita-citanya.

“Asep, papah mau Asep, kalau sudah besar nanti, bisa menjadi seorang arsitek. Dan ketika cita-cita itu sudah tercapai, jadilah arsitek yang baik hati. Asep tidak hanya bisa merancang bangunan yang kokoh, tetapi Asep juga bisa menjadikan rumah tangga Asep, kalau sudah menikah nanti, sama kokohnya.” Nasihat itu masih diingat Asep hingga saat ini. Nasihat yang ayahnya berikan saat ia beranjak masuk sekolah dasar.

Kini Asep hanya bisa meratapi cita-citanya yang sudah tak mungkin bisa tercapai. Asep putus sekolah saat menduduki bangku sekolah menengah atas. Keluarganya makin terpuruk dalam jeratan ekonomi setelah ayahnya  meninggalkan mereka saat Asep baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Asep menjadi tumpuan keluarganya sejak saat itu. Dan puncaknya adalah ketika ia tak bisa menyeimbangkan waktu untuk belajar dan mencari nafkah untuk ibu dan seorang adik perempuannya.

Padahal setelah mendengar nasihat itu, Asep giat sekali belajar. Asep hampir tak pernah bolos sekolah. Ia selalu menjaga kesehatannya pula karena jika sakit, ia takkan bisa belajar lagi. Rangkingnya di sekolah pun tak pernah turun lebih jauh dari angka tiga. Tapi karena bertahan dengan kondisi keluarga yang tak mampu, Asep merasa tak ada jalan lain selain mengakhiri masa sekolahnya.

Asep, pada awalnya, tidak mengetahui masalah apa yang menjerat ayah dan ibunya hingga memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hingga suatu hari, ia mendapati ibunya menangis tersedu-sedu di meja makan di dapur. Di sana, ibunya tidak sendiri. Asep juga mendapati seseorang yang asing bagi dirinya. Asep tidak pernah melihat orang itu. Rambutnya terurai panjang berwarna kuning emas. Ia memakai mantel hitam beludru dengan bulu-bulu di bagian lehernya. Awalnya ia menundukkan kepalanya dan memalingkan mukanya dari Asep. Tetapi ketika Asep mendekat, Asep teringat akan seseorang. Asep kenal betul, itu adalah ayahnya.

Seketika Asep yang masih kecil langsung berlari tak tahu arah. Degup jantungnya berdebar kencang mendapati ayahnya berpakaian banci dengan muka berias tebal. Ia tak habis pikir melihat hal itu. Sejenak ia berpikir itu bukan ayahnya. Tapi hatinya berkata lain. Ia kenal betul orang itu. Asep terus berlari hingga berhenti di bawah naungan pohon beringin. Ia duduk di sana dan mulai menangis. Orang-orang di sekitarnya berusaha untuk mendekati tapi Asep tak tergugah. Ia menangis terus di sana sampai tertidur.

Asep terbangun dari tidurnya di tempat yang berbeda. Ia terbangun di atas kasur di sebuah kamar. Jam sudah menunjuk angka tujuh. Ia sadar bahwa langit begitu cerah pertanda ini sudah pagi. Ketika ia teringat ibunya, sontak Asep segera bergegas. Belum sempat ia berdiri, pintu terbuka dan seseorang masuk. Itu kakeknya, Sobana. Dengan segera, Sobana memeluknya dan Asep mulai menangis lagi.

“Kamu pasti sudah mengetahui semuanya, Asep. Tenanglah, kamu anak yang kuat. Semuanya akan baik-baik saja,” pelan-pelan, Sobana menenangkan Asep yang menangis terisak-isak di dadanya.

Saat Asep mulai tenang, Sobana memberi tahunya bahwa kedua orang tuanya langsung sepakat bercerai setelah kejadian kemarin. Awalnya, Asep tidak begitu tahu maksud dari bercerai itu seperti apa hingga Sobana menjelaskannya lebih lanjut. Hingga akhirnya Asep mengerti dan meminta izin untuk pulang.

Sesampai di rumah, ia mendapati ibunya sedang melamun di teras. Ia lantas berlari dan segera memeluk ibunya. Asep kembali terjerembab dalam tangis yang terisak-isak ditemani cucuran air mata ibunya. Asep bilang padanya, bahwa ia akan menjaga mereka sampai mati dan takkan pernah mengecewakannya.

Masih ditemani irisan-irisan bawang, Asep berusaha sadar dari lamunannya tentang masa lalu. Ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat setiap sudut dapur dan bergumam dalam hati, “Kemana Irma? Kok dia tidak kembali juga.” Ia sadar bahwa ia melamun cukup lama mengingat sekantong bawang yang harus diirisnya sudah habis.