Kesatuan dan Kebhinekaan menjadi dua
aspek penting yang tidak terpisahkan, yang dapat menjadi bagian karakter yang
ditanamkan dan dipelajari melalui pendidikan di semua tingkatan. Pendidikan sikap
atau akhlak itu menjadi common concern bagi semua orientasi ideologis. Lalu,
dimana posisi pendidikan Agama Islam di tengah kebhinekaan itu? Falsafah
Pendidikan menentukan sistem pendidikan, dan sistem pendidikan memiliki
hubungan dengan budaya masyarakat. Nabi Muhammad pernah bersabda “Aku tidak
diutus kecuali untuk memperbaiki karakter manusia.” (Hadits). Dan penyair Mesir,
Ahmad Syauqi, penah melantunkan: “Bangsa-bangsa itu akan tetap eksis selama
karakter mereka terpelihara. Jika karakter mereka runtuh, maka bangsa itu
runtuh pula.” Sementara Ayat Al-Quran sudah menjelaskan metode yang perlu
dijabarkan secara sistematis: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran
yang baik dan dialog yang terbaik..” (An-Nahl: 125).
Adapun mengenai isi pendidikan
karakter di Indonesia, sudah banyak lembaga pemikir yang merumuskan. Yayasan
Jati Diri Bangsa, misalnya, merumuskan lima sikap dasar: jujur, terbuka, berani
mengambil risiko dan bertanggung jawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan
berbagi. Menurut Kemendiknas, tujuan pendidikan karakter adalah untuk “Mengembangkan
nilai-nilai yang berbentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1)
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter
Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya
diri, bangga pada bagsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. “Pusat
Kurikulum Mendiknas mengindentifikasi toleransi, cinta dan damai, dan peduli
sosial, sebagai bagian dari 18 nilai pendidikan karakter.”
Pendidikan karakter di lingkungan
Islam dan non-Islam, bisa membahas isu-isu “how to live together”, seperti
“Aliran Sesat”, “Budaya Asing”, “Pluralisme”, “Kebebasan Beragama”, “Ahmadiyah”,
“Syiah”, “Terorisme”, “Konflik Etnik-Agama”, “Kekerasan Rumah Tangga”, dan
sebagainya. Isu-isu ini dan masih banyak lagi, tentu menuntut pemikiran yang
cerdas dan tepat agar kebhinekaan da keikaan dapat dipahami dan diakui sebagai
sama-sama penting (meskpin sebagian mementingkan satudaripada yang lainnya). Dalam
upaya ini, sumber-sumber Islam, sejarah Indonesia, kebudayaan local, dan
kebudayaan global yang relevan dan konstruktif dapat terus menjadi rujukan
dalam rangka terus membangun pendidikan karakter umat Islam dan bangsa
Indonesia.
K.H. Irfan Hielmy adalah sosok guru
besar (syaikh) yang tawadhu, melebihi banyak mereka yang berpendidikan
formal bahkan professor dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan baik di Timur maupun
di Barat. K.H. Irfan Hielmy adalah otodidak sejati yang luas ilmu dan
wawasannya, dengan teladan yang seluruh keluarga, santri, masyarakat, dan
bahkan pemimpin-pemimpin (termasuk bupati, gubernur dan persiden) telah belajar
darinya. Bagi beliau, pendidikan yang berketeladanan adalah pendidikan karakter
sesungguhnya.
Menurut K.H. Irfan Hielmy, tarbiyyah
atau pendidikan adalah termasuk dakhwah khasah, dakwah khusus. Beliau menyebut
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sebagai salah satu gagasan dan program
mulia dan telah berhasil sebagai jawaban dan keprihatinan para ulama. Beliau menyebut
jasa Prof. Dr. Munawir Sadzali, MA. saat beliau menjabat Menteri Agama RI. K.H.
Irfan Hielmy tidaklah anti-filsafat, meskipun hal ini sesuai dengan kadar
berpikir masing-masing manusia. Beliau menulis, “Dogmatik saja, hanya sanggup
menanam keyakinan, mungkin pula keyakinan yang disertai dengan faham yang tidak
serba luas. Sedangkan filsafat memperluas alam pikiran dan perasaan,
mengarahkan ajaran untuk meninjau yang jauh dengan pandangan dan perasaan yang
jauh pula.”
K.H. Irfan Hielmy melihat pentingnya
menggabungkan akal taklifi dan akal syar’i. mengenai akal ini,
yang merupakan anugrah Allah, beliau mengutip Said Hawwa dengan akal
taklifi-nya, dan Imam al-Ghazzali dengan pengetahuan tentang hakikat segala
sesuatu, yaitu jenis akal yang dimiliki setiap manusia yang sehat. “Tak pandang
apakah ia seorang Muslim, non-Muslim, bahkan ateis sekalipun…Ilmu atau science
adalah bagian dari aspek kehidupan yang dapat diperoleh manusia lewat jenis
akal ini,” beliau menulis. Beliau berpendapat dan yakin bahwa dengan kekuatan
akal ini, manusia menalar, mengembangkan logika berpikir, berfilsafat, menggali
ilmu pengetahuan. Sedangkan akal syar’i dianugerahkan Allah untuk mengenal-Nya,
memahami perintah-perintah-Nya, beriman kepada-nya, dan konsisten dengan
ajaran-ajaran-Nya. Bagi K.H. Irfan Hielmy, kedua jenis akal ini penting
dikembangkan manusia Muslim dimanapun dan dalam kondisi apapun.
K.H. Irfan Hielmy memahami pentingnya
ilmua agama dan ilmu-ilmu lain tidak bertentangan satu sama lain, tapi saling
menguatkan. Beliau menyebut sosiologi, sejarah, dan ilmu-ilmu lain yang dikenal
sebagai ilmu umum. Pengagum Al-Ghazzali, K.H. Irfan Hielmy memiliki pandangan
progresif tentang agama, ilmu pengetahuan, tasawwuf, dan filsafat. Karena Islam
agama fitrah, maka semua ilmu pasti sejalan dengan fitrah manusia, maka semua
ilmu pasti sejalan denga fitrah manusia, dank arena itu penting dipelajari. Lama
yang dimaksud Al-Qur’an bukan hanya ulama dalam bidang agama saja, beliau
menekankan, tetapi ulama dalam segala bidang ilmu pengetahuan yang lebih luas
lagi. Ilmu pengetahuan sangat diperlukan Islam. Pendidikan karakter bangsa
baginya harus terpadu dengan pendidikan ilmu pengetahuan dalam arti yang luas.
Lebih luas lagi, K.H. Irfan Hielmy
menulis, kemajemukan agama tidak saja diakui sebagai realitas empirik masyarakat
Indonesia yang tidak bisa dinafikan dan ditolak, bahkan menjadi salah satu
pendorong dinamika masyarakat dan pembangunan. Mengutip Susan O’Connor yang
menyebut “cultural pluralism”, K.H. Irfan Hielmy menekankan masyarakat yang
multi etnik dan multi agama, dimana masing-masing menghormati satu sama lain,
menikmati kesamaan hak, serta memelihara dan memperkembangkan kebudayaan
tradisinya masing-masing. Menuju Khairu Ummah, tidak berarti menjadi
umat yang eksklusif dan terpisah dari umat-umat lain, tapi justru saling
belajar, memahami, dan bahkan bekerja sama untuk kepentingan bersama yang lebih
luas.
Pemikiran K.H. Irfan Hielmy adalah
pemikiran Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, mengikuti dan menerjemahkan pendapat
ulama-ulama seperti Abu Hasan Al-Asy’ari, Imam Al-Ghazzali, Ibnu Taimiyyah,
Muhammad ibn Abd al-Wahhab, tapi juga Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida,
Sayyid Qutb, Said Hawwa, dan lain-lain. Di Indonesia, K.H. Irfan Hielmy berpendapat,
ulama-ulam dibawah NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam,
Majlis Da’wah Islamiyyah, Al-Jami’atul Washliyah, Tarbiyah Islamiyah,
Al-Isrsyad, Sarikat Islam, dan lain-lain, termasuk al-firqah Ahlussunnah wal
Jama’ah. Tapi beliau juga membaca dan meramu pemikiran-pemikiran di dunia Barat
dan Timur, termasuk di tanah air yang relevan dan tepat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan wawasan umat Islam. Baginya, tidak ada kotradiksi antara Islam
dan kemanusiaan, antara Islam dan moderasi, antara iman dan demokrasi, antara
ihsan dan diplomasi.
K.H. Irfan Hielmy adalah sosok kyai Salafi
yang Khalafi, yang ingin terus menanamkan nilai-nilai universal Islam dan
menerjemahkan khasanah klasik dan abada pertengahan Islam dalam konteks kekikinian
dan dalam konteks integrasi bangsa Indonesia yang sangat ia cintai.
Wallahu a’lam
bish-shawwab.
*Dikutip dari Artikel yang ditulis oleh Muhamad Ali,
Ph.D. yang disampaikan dalam Interdiciplinary Colloqium dengan tema, “Islam
dan Kebhinnekaan; Merajut Kebhinekaan dalam Keikaan dalam rangka Pendidikan
Karakter Bangsa”, di Program Pascasarjana, STAIN Salatiga, Rabu, 30 November
2011. Kemudian tulisan ini didekasikan dalam epilog buku berjudul “Ziarah; Menapaki
80 tahun perjuangan K.H. Irfan Hielmy” (2012) karya Dedi Ahimsa dan Yussy Dewi.
Penulis adalah santri Pesantren Darussalam, siswa Madrasah Aliyah Program
Khusus (MAPK) Darussalam, 1989-1992. Sekarang assistant professor, Islamic Studies
di Religious Studies Department, dan Southeast Asia: Text, Ritual and
Performance, University of California, Riverside.
0 komentar:
Posting Komentar