Bumi yang terik, mobil dan motor berlalu tanpa ampun. Roda-roda bermesin itu terlihat begitu terburu-buru. Mungkin sedang ingin bermain balapan. Hanya bermain saja, karena untuk balapan di trek, mereka tak punya mental itu. Mereka hanya bermental pengecut. Hanya berani melawan mobil-mobil sayuran, angkot, becak dan sepeda jadulku saja. Untuk bersaing dengan yang lebih kuat, rasanya tidak mungkin.

Bangku berdecit, engsel-engselnya agak reyod. Jika aku menyondongkan tubuh ke samping, maka bangku ikut miring, seperti Menara Pisa. Jika aku bersandar ke belakang, rasa-rasanya hampir akan terjatuh. Tapi aku butuh tempat duduk, untuk menunggu Aksan, teman sekelasku di kampus. Kita janji pergi bersama sambil bersepeda ria.

Ada kuliah pukul dua siang, dan kini sudah setengah dua. Aksan tak kunjung datang. Sudah lima belas menit aku menunggu. Ada nyanyian dari arah perutku, mungkin cacing-cacing sedang menggerutu.

Angkot hijau akan berhenti di sebelah sana, depan halte Metro. Sekitar sepuluh meter dari tempatku duduk. Sepertinya, mau menurunkan penumpang. Aku perhatikan saja untuk mengisi luang.

Sebuah tas koper besar yang mula-mula nongol di balik pintu angkot. Cukup lama. Mungkin berat, kelihatannya begitu. Sebenarnya aku punya niat membantu. Hanya niat saja. Karena dalam ajaran Tuhan, berniat baik sudah termasuk perbuatan baik. Berbeda jika berniat jahat. Niat itu tidak tidak akan dituliskan dalam catatan malaikat apabila kejahatannya tak dikerjakan.

Akhirnya muncul kepala dari dalam angkot tersebut setelah koper tadi sudah di luar. Seorang perempuan. Berjilbab. Kelihatannya masih muda, seumuranku. Sepertinya cantik, hanya saja aku tak bisa melihat jelas mukanya. Sedari keluar angkot, ia tak pernah menghadap ke arah ku. Padahal, aku harap dia bisa melihatku yang sedang bosan menunggu Aksan di sini. Atau paling tidak, aku yang dapat memandang wajahnya yang cantik, kalau memang dia cantik. Tapi sepertinya begitu.

Perempuan itu keluar bersama temannya yang juga perempuan, tapi tak berjilbab, dan memakai kaos pendek putih. Ia mengurai rambutnya setiba di trotoar untuk merebahkan diri. Duduk di angkot, sebentar atau lama sama saja. Sama-sama buat pegal. Makanya, aku pilih berkendara sepeda saja. Yang lebih sehat dan lebih menantang.

Temannya, setiba di trotoar, langsung mengalihkan pandangannya ke arah aku duduk. Bukan melihatku. Hanya tatapan basa-basi tanpa tujuan. Pandangannya kosong, mungkin melihat sesuatu yang jauh dariku karena ia sama sekali tak melirikku. Meskipun begitu, yang penting aku bisa melihat wajahnya. Ternyata cantik juga, dan lirikan mataku terpaku pada orang itu. Memang, melihat orang cantik itu menyegarkan.

Mereka berdua mungkin akan menyebrang jalan, dan menunggu lalu lintas aman dengan mengobrol. Membicarakan entah apa tapi terlihat begitu menyenangkan. Aku pun tak peduli. Hanya saja, perempuan berkaos putih itu menghalangi jarak pandangku terhadap temannya. Padahal aku sangat ingin melihatnya. Biar cuaca yang terik, menjadi sejuk.

“Ayolah! Minggir, kau!” Benakku kesal.

Sejak hubungan berpacaranku tamat dengan Aliya, pandanganku lebih mudah teralihkan oleh gadis-gadis lain. Muda ataupun tua. Cantik ataupun tidak, meski pada akhirnya jika tak sesuai dengan seleraku, segera ku alihkan pandangan. Aliya memang tak begitu cantik, kata orang lain. Tapi tidak bagiku. Ia adalah mahadewi yang tersesat di bumi. Dan pada akhirnya menemukan pelabuhan di hatiku. Meski sekarang, ia sudah berangkat lagi.

Aku percaya dengan sebuah obrolan dari seorang jenderal tua. Katanya, bukan cantik yang menjadikan cinta, tapi cinta yang menjadikan cantik. Perkataan itu, terpatri di pikiranku sampai sekarang. Sampai akhirnya hubunganku dengan Aliya berakhir. Sampai akhirnya, aku menjadi tergila-gila pada wanita cantik.

Jalanan sudah lengang. Ada mobil, tapi cukup jauh dari jarak pandang. Adapula motor, tapi hanya pelan saja. Kendaraan lainnya tak ada, dan mereka berdua siap menyebrang.

“Ah tidak, kesempatanku akan hilang,” bisikku dalam hati. “Masa aku harus cari perhatian dengan berpura-pura ingin membantunya mengangkat koper?”

Akhirnya daripada kesempatan itu hilang, segera aku berdiri dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjadi seorang pahlawan. Meskipun kesempatan pasti datang lagi, apa salahnya aku ambil kesempatan emas ini. Barangkali saja, dia itu jodohku. Dan lewat pertemuan ini, kita bisa merajut cinta sampai mati.

Ku hentakkan langkah kaki pertamaku dan, “Hai! Mau kemana, kau, Andra?” Sepertinya Aksan.

“Maafkan aku telat cukup lama.” Dan ternyata benar itu Aksan.

“Oh tidak. Kesempatanku berakhir,” sesalku dalam hati. Aku tak berani melanjutkan membantu para gadis itu karena aku takut dituduh cari perhatian. Tuduhan-tuduhan seperti itu kerap dilancarkan Aksan selepas aku putus dengan Aliya. Alasannya, aku dianggap tidak bisa berpindah ke lain hati dan cenderung akan mencari banyak perhatian.

Langkah pun ku hentikan.

“Aksan, kau datang tepat pada waktunya,” sindirku.

“Bukankah aku telat?” Dia pura-pura bodoh atau memang bodoh. “Tapi terima kasih, kau memang teman yang baik. Meskipun aku telat, kau tetap berbaik hati kepadaku dengan berkata begitu.”

Dia memang benar-benar bodoh.

Suasana menjadi tegang. Aliran darahku terasa mengalir lebih cepat. Saat ku alihkan pandangan kepada gadis-gadis tadi mereka sudah di tengah jalan. Langkahnya cukup cepat karena beban yang sepertinya berat. Dan mereka semakin menjauh. Dan harapanku untuk melihat wajahnya pupus karena Aksan.

“Mereka temanmu?” Aksan bertanya dengan lepas.

“Bukan.”

“Lalu?”

“Entahlah.”

“Aku tau maksudmu?”

“Apa?”

“Kau pasti ingin cari perhatian.”

“Tidak.”

“Sudahlah, akui saja!”

“Tidak, aku tak mau melakukan apa-apa.”

***

Aku pun mengakuinya selepas kita naik sepeda. Segala maksudku terhadap gadis-gadis tadi, ku ungkapkan kepada Aksan. Biar segala penatku, Aksan pun merasakannya. Biar rangkaian kata-kata menari bersama simbol-simbol emosi yang keluar dari mulutku, merasuk jauh ke dalam pikiran Aksan. Biar dia mengerti, kenapa dia tidak boleh menggangguku lagi.

“Itu adalah keistimewaan sebagian perempuan,” Aksan mulai berkata-kata seperti para filosof berceramah di lorong-lorong gua. “Mereka yang dillindungi, wajahnya dibentengi oleh perisai Tuhan.”

Dahiku mengkerut tanda ketidakpercayaan.

“Banyak orang memang tak akan percaya dengan apa yang aku ucapkan,” Aksan mulai menyombongkan dirinya yang bodoh. “Kata-kataku terlalu suci dan tinggi untuk dimengerti oleh orang-orang awam hingga aku menjelaskan.”

“Ya sudah, jelaskan!” Dengan terpaksa, karena keingintahuanku, aku harus jadi orang awam.

“Begini, pemuda,” papar Aksan, “Bahwa Tuhan melindungi tubuh perempuan yang tubuh itu dijaga oleh perempuan itu sendiri. Termasuk wajahnya. Mereka dengan sebaik mungkin menjaga diri mereka dari segala hal yang tak bermoral. Maka dari itu, Tuhan pun menjaga mereka dari segala perbuatan tak beretika seperti apa yang akan kau lakukan tadi. Mencuri-curi pandang terhadap seorang perempuan.”

“Jadi kau menuduhku lagi?”

“Jika semua pencuri di dunia ini mengaku, penjara akan diperluas.”

“Terserah kau!!”

Akhirnya, kita sampai di kampus pukul dua siang lebih sepuluh menit.