Futurolog pada abad 20, semisal John Naisbith dan Alvin Toffler dalam The Three Wave dan Megatrend 2000, telah meramalkan bahwasanya abad 21 adalah abad spiritualitas. Dan itu benar terjadi, kini umat manusia berbondong-bondong kembali pada spirit atau fitrah mereka. Hal ini terbukti dari, salah satunya, dunia perfilman yang semakin sering mengangkat isu-isu spiritual atau religi.

Dulu, tren film di Indonesia adalah seks, kekerasan, dan horror. Tapi kini masyarakat lebih memilih film-film yang bernilai spiritualitas, sejarah, atau bahkan dokumenter. Inilah yang mesti Umat Islam tangkap untuk dikembangkan.

Dakwah Islam bukanlah gerakan dakwah yang terbatas pada pemanfaatan kualitas individu untuk menyampaikan dakwah melalui mimbar saja. Pemanfaatan ranah perfilman, merupakan cara yang cukup efektif falam membangun kesadaran Islami.

Sebagian film religi, memang, seringkali menimbulkan perdebatan. Hal ini didasarkan pada pesan yang disampaikan tidak sejalan dengan kondisi pemahaman masyarakat secara umum. Oleh karena demikian, perlulah sebuah film itu mengangkat nilai Islam yang universal, agar tak malah menjadi biang daripada perselisihan.

Pesan yang universal dapat dilihat dari kadar wacana yang dikembangkan dalam film tersebut. Ambil contoh, pesan-pesan humanis. Bagaimana seseorang itu saling membantu satu sama lain dalam berbagai kesusahan. Atau, bagaimana sebuah kelompok menghindari perselisihan atas dasar kerukunan bersama.

Nah, di balik pesan universal, ada pesan yang sifatnya parsial. Diantaranya, bagaimana pelaksanaan ibadah satu mazhab fikih ditekankan dalam satu film. Pesan semacam inilah yang mesti dihindari untuk disampaikan kepada khalayak umum. Hal ini ditujukan agar tak terjadi keberpihakan sebuah film terhadap satu mazhab, sehingga akhirnya menimbulkan perselisihan.

Terlepas dari berbagai bentuk pesan ini, satu hal yang lebih penting adalah berkarya. Umat Islam, terkhusus para pemuda, diharapkan ketika berkarya, condongkanlah karya itu kepada nilai-nilai dakwah. Agar, khazanah Islam itu tidak kering, penuh dengan pembaharuan dan kreatifitas.

Selain daripada itu, bukankah seringkali kita berkomentar atas film-film yang tak sarat akan nilai? Nah, daripada kita hanya berkomentar, lebih baik kita balas melalui karya berbentuk film. Bukankah itu ciri daripada sikap intelektual?

***