Ia berteriak selepas membukakan mata dari lelap tidurnya. Satya terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpi, ia terdampar dalam sebuah ruangan bercat putih. Nampak jelas berbentuk kubus, dan tak berjendela maupun pintu. Ruangan polos, tembok yang rata, dan, tak ada apapun di sana.

Sela ia menghela napas, perlahan tembok itu mulai mendekatinya. Tiap sisinya bergeser. Samping kanan, kiri, atas, depan, kecuali belakang dan bawah, bergeser menyempit. Satya teraneh-aneh dan mulai ketakutan.
Semakin menyempit, tembok-tembok itu tiba-tiba berhenti bergeser. Satya mulai tenang.

Diambilnya napas panjang, “Huh.” Dan Satya menutup matanya.

Lepas ia membuka matanya kembali, ruangan nampak benar-benar sempit. Hanya jarak satu meter ke depan, satu meter ke samping. Pokoknya semua sisi berjarak sama. Satya kaget dan kebingungan. Malah menjadi takut karena tembok itu semakin mendekat.

Kini tembok mulai menyentuh tubuh Satya. Bahu Satya menyentuh tembok. Begitupun kepalanya. Kini ia terhimpit dalam sebuah kotak kecil. Sedangkan Satya hanya bisa terduduk jongkok dalam kotak itu.

Ia semakin resah. Namun semakin ia resah, tembok itu malah terasa semakin menghimpit. Satya sudah hampir kehilangan asa. ia merasa akan remuk. Terhimpit dalam kotak yang terasa makin kecil itu.

Satya mulai memasukkan kepalanya di antara kedua lutut kakinya. Ia tertunduk dalam himpitan yang semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar kehilangan asa untuk hidup. Tubuhnya mulai terasa sakit karena tembok itu benar-benar menekan tubuh  Satya.

Dalam kegelisahan yang berakhir kesakitan itu, Satya tak sadar, kalau sejak awal ia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tapi wajar, karena ruangan itu nampak seperti hampa udara, jadi Satya tidak merasa dingin, walau ia tetap bisa bernafas.

Sekarang yang jadi masalah, Satya tak tahu mesti berbuat apa-apa. Ia pasrah pada apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Ia sudah rela kalau-kalau badannya remuk terhimpit dalam ruangan yang sudah tak menyerupai ruangan. Satya merasa seperti ada dalam sebuah kotak besi yang terkunci. Mematung tak bisa bergerak.

“Satya!” Ia mendengar suara orang memanggilnya. “Satya!”

Ia kembali mendengar panggilan itu untuk ketiga kalinya, “Satya!”

Satya menatap ke depan. Ia mengangkat wajahnya dan membuka mata.

Ia kaget. Satya terlempar beberapa sentimeter ke belakang. Ia melihat sebuah wajah dalam gelapnya ruangan itu. Mata, hidung, bibir, pipi, dan sebagian keningnya terlihat jelas karena bantuan cahaya lilin.

“Satya, kenapa kamu?”

Satya tak menjawab.

“Ini paman. Ada apa kamu teriak-teriak tengah malam begini?”

“Paman?”

“Untungnya Hafiya kebluk. Jadi dia tidak terbangun, walau dia tidur di sampingmu.”

“Aku bermimpi aneh, paman.”

Satya mulai menceritakan mimpinya. Dari awal sejak ia terdampar dalam ruangan putih hingga ia terhimpit.

“Tenang, kau cuma bermimpi.”

“Tapi aku takut. Dan parahnya aku tak bisa berbuat apa-apa.”

“Satya, sebenarnya kau bisa berbuat apa-apa. Kau hanya berada dalam tekanan saja, hingga kau merasa tak berkutik. Padahal kau tak tahu apa yang akan terjadi kalau kau bergerak dan mencari penyelesaian.”

“Iya, paman, memang begitu. Tapi bagaimana lagi? Aku benar-benar merasa lemah dan begitu ketakutan.”

“Sudahlah. Itu hanya perasaan. Lagipula itu hanya mimpi.”

Satya menganggukan kepalanya dan mulai menata kembali tempat tidurnya untuk berbaring. Sementara paman Karya, meninggalkan kamar sembari meniup lilin. Pintu pun ditutup, dan kamar kembali gelap.