Nomor Tidak Dikenal
Malam nampak sedang marah. Langit dunia legam tanpa bintang. Hanya awan, saling beriringan dalam buaian angin di angkasa. Dan Sari, mungkin masih ketakutan atas marahnya malam, soalnya ia belum tidur. Ia sendiri, terduduk lesu di atas kursi kayu, di antara dua kursi lainnya yang mengitari meja kayu bundar.

Tepat di malam itu pada sembilan tahun yang lalu, ketika Satya masih berusia sepuluh tahun, Sari ditinggal suaminya. Ayah Satya ini, Hamid, wafat dalam pelukan Sari. Hamid sakit paru-paru basah karena terlalu banyak merokok, itu kata tabib di kampungnya. Jelas bendungan air mata Sari pecah malam itu pula. Bahkan ia sampai tidak sadarkan diri sesaat setelah Hamid berhenti bernapas. Kebersamaannya bersama Hamid, harus berakhir karena batang-batang rokok.

“Satya, semoga kamu tidak mengikuti jejak ayahmu yang buruk itu.” Sari berharap dalam benaknya.

Di atas meja, ponsel Sari bergetar. Dilihatnya, ternyata ada pesan dari Satya.

Bu, ibu belum tidur? Aku tiba-tiba terbangun. Baru saja aku bermimpi bertemu dengan ayah. Aku merindukannya, bu. – Ucap Satya dalam pesan singkatnya.

Sari terkejut. Baru saja ia memikirkan putra bungsunya, tiba-tiba ada kiriman pesan dari anaknya itu. Mungkin ini yang dinamakan kesatuan jiwa seorang ibu dan anaknya. Raganya terpisah, tapi ruhnya bersatu.

Sudahlah, nak. Lagipula itu hanya mimpi. Segeralah tidur kembali.. – Sari menjawab pesan itu dengan singkat.

Berselang beberapa menit, ponsel Sari bergetar kembali. Kali ini Satya mencoba menelepon. Mungkin ia tak puas dengan jawaban ibunya yang singkat itu.

Namun sayang, Sari enggan menjawab panggilan itu. Ia biarkan saja bergetar. Malah Sari bergegas berdiri dan pergi berlalu meninggalkan beranda rumahnya itu. Ia pergi ke dapur untuk menyeduh segelas hangat teh manis. Sedangkan, ponselnya terus bergetar.

Setibanya dari dapur, Sari duduk kembali di kursi yang berbeda dengan tempat duduknya yang pertama. Ia taruh gelas teh-nya lalu melihat ke layar ponsel. “Wah, ada lima kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan. Padahal di dapur aku tidak lama,” gerutunya pada angin malam.

Lalu diambilnya ponsel itu. Dilihatnya, ada empat kali panggilan dari Satya dan satu nomor tidak dikenal. “Nomor siapa ini?” Pikirnya santai, “Ah paling orang salah sambung.”

Sari pun menyimpan kembali ponselnya dan mulai menyeruput teh.

“Sebentar, perasaan tadi ada SMS.” Sari mengambil lagi ponselnya dan membuka pesan itu.

Lihat ke arah utara! Aku berada di balik pohon beringin. – Pesan orang di balik nomor tidak dikenal itu.

Sontak Sari kaget. Ia terperanjak hingga kursi yang didudukinya terjatuh. Bahkan, tak sengaja ia menyenggol meja sampai gelas teh yang disimpan di atasnya terjatuh ke lantai dan pecah. Ia kemudian berlari ke dalam rumah. Lalu Sari bersembunyi di balik pintu depan yang telah ia tutup dan kunci. Jantungnya berdebar kencang. Benaknya kacau. Ia terpikirkan berbagai hal.

Sari bingung mau kemana. Ia hanya bisa berdiri di balik pintu, menjaga agar tidak ada siapapun masuk. Detik jam dinding terasa begitu bersuara kencang. Tik tok tik tok di ruang tamu yang hening membisu.

Sari mulai menangis. Ia kalut. Sari berharap ada Hamid di sampingnya sekarang. Tapi itu hanya angan-angan kosong, tak mungkin dapat terjadi. Lalu Sari mencoba menelepon Hamid. Namun sayang, sepertinya ponsel Hamid mati. Di balik ponselnya, Sari hanya mendengar suara perempuan bersuara lembut yang mengatakan, “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif dan berada di luar jangkauan.”

Sari sudah kehilangan asa. Saking takutnya, tubuh Sari perlahan melemah. Ia terkulai lemas di balik pintu. Ia merasakan pusing yang sangat. Pandangannya mulai kabur. Ruang tamu seakan berputar-putar dalam benaknya. Dan jam dinding seperti sedang menertawakannya.

Akhirnya, Sari tergeletak di lantai dan pingsan.

***