Bangsa Indonesia kini sungguh sangat berbahagia atas pengorbanan para pahlawan. Tepat pada 68 tahun yang lalu, perjuangan rakyat Surabaya menjadi tonggak sejarah yang tak akan pernah terlupakan. Agresi militer yang dilancarkan Inggris bersama sekutu waktu itu, tak membuat gentar semangat para pejuang. Sebuah agresi besar-besaran yang melibatkan 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Dan kota Surabaya, menjadi bulan-bulanan serangan itu.

Meski rakyat Surabaya mengetahui persenjataan mereka kalah jauh dari daripada musuhnya, tapi semangat mereka berkobar seperti api membara. Bung Tomo, mempelopori semangat besar itu, rela mengorbankan jiwa raga demi Tanah Air tercinta, katanya.

Semangat itu, kini mengalir dalam aliran darah para pahlawan yang berasal dari daerah. Mereka memang bukan petinggi negara ini, mereka juga bukan tokoh-tokoh besar. Tapi geliat kepahlawanan mereka menjadi bubuk mesiu atas meledaknya semangat berjuang rakyat-rakyat di sekitar mereka.

Perjuangan mereka, bukanlah mengangkat senjata, ataupun bergerilya di hutan-hutan. Mereka berjuang pada sisi yang kebanyakan tidak disentuh oleh para petinggi negeri ini. Sebut saja Arif. Bagi saya, atau bagi mereka yang hatinya terenyuh, perjuangan seorang Muhammad Arif Kirdiat ini patut dikategorikan sebagai geliat kepahlawanan, para pahlawan dari daerah.

Pria lulusan S-2 Strategic Studies Nanyang Technological University, Singapura ini berhasil menjadi pahlawan besar bagi rakyat-rakyat kecil yang tak sempat merasakan kasih sayang dari pemerintah. Ia berhasil ‘menjembatani’ satu desa ke desa yang lainnya, melalui pembangunan dan perbaikan jembatan penghubung yang diusungnya.

Arif mempelopori terbentuknya sebuah organisasi sosial yang bernama, Relawan Kampung. Lewat organisasi inilah, ia bersama teman-temannya berhimpun dalam menangani pembangunan jembatan yang sempat terabaikan. Perjuangannya diawali atas keprihatinannya atas ketiadaannya sebuah jembatan penghubung antara Desa Aer Jeruk dan Desa Cegok di kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Sehingga tiap harinya anak-anak menerjang arus sungai hanya untuk tiba di sekolah. Bila hujan hingga sungai meluap, anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah. Mereka yang sudah sampai di kelas terpaksa menginap di sekolah.

Melihat keadaan tersebut, pria kelahiran Jakarta ini merasa terpanggil hatinya untuk membangun sebuah jembatan penghubung. Maka ia bersama Relawan Kampung pun tergerak untuk melakukannya meski tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah. Ia mengandalkan donasi yang digalang lewat media sosial, serta relasi-relasinya. Malah, yang lebih miris, donasi yang ia dapat rata-rata datang dari luar Banten, seperti Malaysia, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

Kini, telah berfungsi 3 jembatan beton dan 2 jembatan gantung karya relawan kampung di Kabupaten Pandeglang dan Lebak.

Selain Arif, ternyata masih banyak para pahlawan masa kini yang datang dari daerah. Salah satunya Faisal Fathani, dosen Universitas Gadjah Mada ini berhasil menciptakan sebuah alat pendeteksi dini terjadinya longsor. Berkat ciptaannya, masyarakat perbukitan Menoreh, D.I. Yogyakarta, berhasil selamat dari bencana longsor. Bahkan kini ciptaannya berhasil dipatenkan sebagai karya penelitian strategis oleh International Program of Landslides (IPL-UNESCO) setelah berkontribusi banyak pada lebih dari seratus titik rawan longsor. Dan menariknya, ia pun mendapatkan Excellent Research Award dan Award of Appreciation dari International Symposium on Mitigation of Geo-Disaster di Kyoto-Matsue atas dedikasinya dalam mitigasi bencana alam.

Dari beberapa nama yang saya himpun, ada juga sosok Sapto Sopawiro, seorang kakek keturunan Jawa yang berusaha mempertahankan budaya wayang yang hampir hilang di negeri Suriname. Ada pula Cak Fu dan Kustiyah Gandu yang masing-masing menjadi “pengacara” bagi kaum disabilitas dan perempuan yang hak-haknya tak terpenuhi. Terakhir, sosok Sumartono Hadinoto, seorang keturunan Tionghoa yang berkontribusi pada kegiatan sosial di Solo.

Sebenarnya masih banyak para pahlawan yang muncul dari daerah. Meski kehadiran dan perjuangan mereka tak diabadikan dalam album pahlawan nasional yang kini berjumlah 156 orang, perjuangan yang mereka berikan, sepertinya memang telah melebihi panggilan tugasnya. Maka pantaslah mereka disebut sebagai seorang pahala-wan, pahlawan mulia dari daerah.