![]() |
Ilustrasi oleh @sayapayam (Dinda Ahlul Latifah) |
Malam yang penuh luka lagi. Pukul dua menjadi titik balik
lagi. Setelah bertahun-tahun, bayangan itu muncul lagi dan lagi. Jika ibaratnya
ada sebuah lubang, aku menjatuhkan diri ke dalamnya berkali-kali. Sebenarnya
aku tidak mau melompat, tetapi memasuki lubang tersebut sungguh menyenangkan.
Aku sering membayangkan bahwa dasar dari lubang itu adalah langit. Maka ketika
aku melompat ke dalamnya, aku melompat ke langit. Begitulah seperti
burung-burung walet terbang sirkular dalam pilinan jalur sutera yang
diciptakannya. Jalur yang secara nyata tidak terlihat, hanya ada pada imajinasi
burung-burung tersebut.
Aku seperti burung walet itu. Terbang sirkular dalam
imajinasi-imajinasi yang aku ciptakan sendiri. Berputar-putar terus tanpa tahu
dimana akhirnya.
Akhirnya aku terjatuh lagi ke dalam lubang tadi. Setelah aku
sadar bahwa aku hanya sedang berimajinasi, tubuhku terasa sakit. Sakitnya minta
ampun. Sakitnya tak hanya di sekujur tubuh tetapi juga melibatkan pikiran dan
perasaanku. Aku setelahnya hanya bisa mengantuk, menginginkan tidur yang cukup
untuk mengembalikan kesegaranku semula.
Jam sudah maju empat angka. Satu dua tiga empat. Jarum
panjang mengarah hampir tepat di jantung angka empat dalam deretan angka yang
melingkar membentuk lingkaran sempurna. Lingkaran sempurna adalah lingkaran
yang menghasilkan efek semangat yang menggebu-gebu, mengejawantahkan rasa ke
dalam setoples air susu. Air yang sebenarnya sudah basi. Lima hari tidak
diminum, hanya disimpan sembarang di rak tempat biasanya makanan-makanan untuk
sarapan dan menjelang tidur disiapkan.
“Hira, maukah kau jerang air susu itu di atas perapian dan
kau mengawasinya selama aku pergi ke tempat penjual sayur?”
“Baiklah, Maya. Hati-hati, cuaca masih sangat dingin bahkan
matahari sama sekali belum menjelang.”
Aku melihat siluet punggung Maya berjalan pelan menuju pintu
yang sudah terbuka. Sebelum menapakkan langkahnya di luar garis pintu, Maya
membalikkan badannya. Kutangkap ekor matanya yang hitam dan kemerah-merahan
karena pedar cahaya lampu pijar tegangan kecil mengarah padaku. Wajahnya
merayu. Maya tersenyum tipis. Dari kejauhan bibirnya terasa hangat dan begitu
merah. Lembap. Menyampaikan getaran perasaannya dengan radiasi yang bertenaga.
Maya lalu memalingkan tubuhnya kembali seraya menutup pintu.
Ia sangat indah. Maya menawanku ke dalam pelukan cintanya
yang mendesir halus sebagaimana angin di pantai. Maya menjadikanku tawanan
cintanya di saat yang tepat, meski banyak orang bilang tidak. Aku tertawan oleh
Maya saat ia masih seranjang dengan suaminya yang sah.
***
Di bawah temaram lampu pijar yang bercahaya merah
kekuning-kuningan, sebuah rumah bilik di ujung setapak itu tentu akan menjadi
sorotan siapapun. Rumahnya Maya. Rumah yang kontras dengan warna gelap langit
menjadi layaknya ornamen lampu hias di pasar malam yang biasa dihelat satu
tahun sekali di alun-alun dekat balai desa. Karena tak ada lampu jalanan di
desa ini, maka malam-malam biasanya diramaikan kerlap-kerlip bintang dan cahaya
rembulan. Rumah bilik itu, yang berdiri di batas hamparan sawah kering, berkamuflase
menjadi semacam pos jaga.
Keadaan semacam itu yang sebenarnya membuat warga desa tak
pernah melewati setapak ini. Tapi ini jalan pintas menuju rumahku. Bapakku di
rumah sendirian sedang terbaring sakit. Menungguku membawakan herbal yang aku
dapatkan dari desa sebelah. Menurut tabib, obat itu tidak boleh terkena sinar
matahari. Hal itu dapat mengurangi khasiat yang terdapat pada obat itu.
Sudah berjam-jam aku meninggalkannya di rumah. Maka tak
pantas aku berlama-lama berjalan lewat jalan yang lebih ramai dengan
bangunan-bangunan rumah padahal jarak tempuhnya lebih lama. Lagipula tak ada
gunanya.
Selepas melewati setapak di antara hamparan sawah, tibalah
aku mendekati rumah bilik tadi. Di sana, secara tidak sengaja aku mendengarkan
erangan-erangan kecil. Suara-suara itu bercampur baur dengan desir angin malam
dan siulan-siulan jangkrik. Kulihat, jendela rumahnya sedikit terbuka.
Aku tak tahu, mengapa bukan melanjutkan perjalanan, kaki-kaki
ini lantas membawaku terus bergerak mendekati rumah itu. Setiba di balik
jendela, kulihat dengan begitu jelas punggung seorang perempuan yang tak
dilapisi sehelai kain pun. Hanya ada dua buah tangan sedang melingkar di balik
leher dan pinggangnya. Pelukannya nampak begitu erat mendekap perempuan itu.
Maya. Dan aku juga tahu itu tangan siapa. Margana. Anak kepala desa, suami
Maya.
Sebelum mereka merasakan kehadiranku, aku tersadar bahwa aku
harus bergegas pergi. Kuayunkan beberapa langkah kecil ke belakang dan segera
membalikkan badan dan pergi. Aku sampai lupa, Bapak sedang menungguku di rumah.
***
Usia Maya denganku terpaut lima tahun. Aku lebih muda
daripadanya. Meski begitu, lukisan wajahku membuat aku terlihat lebih tua dari
Maya. Hal ini jelas terlihat pada sebingkai fotoku dan Maya yang berdiri tegak
di atas meja makan ini. Foto yang diambil dengan sengaja di studio foto di kota
sebelah yang lebih kurang berjarak tiga jam dari desa ini.
***
Entah kenapa jalan takdirnya bisa seperti ini. Bapak tak
kunjung sembuh dari penyakit yang menderanya. Sudah lebih dari setengah tahun
rutin aku meminumkan obat herbal. Makin hari aku makin menyerah dan putus asa
atas masa depan Bapakku. Aku merasa apa yang aku lakukan hanya berakhir sia-sia
dan aku makin tak rela melihat kondisinya yang seperti itu.
Tapi satu hal yang membuatku tak berhenti memberi Bapak obat
ialah perjalananku melintasi rumah Maya. Aku selalu melintasi jalan setapak itu
untuk sengaja melewati rumahnya. Meski kejadiannya memang tak selalu sama.
Terkadang jendelanya tertutup dan hanya terdengar suaranya. Pernah juga seperti
tidak ada orang sama sekali di rumah itu. Bahkan pernah juga jendela itu
terbuka lebar dan aku sengaja bersembunyi mengintip di balik pohon. Entah
apakah mereka merasa atau tidak, aku rutin melakukan kegiatan pengintaian ini.
Segala sesuatu pasti ada masanya harus berakhir. Rutinitasku
pun sama. Suatu saat aku mengendap-endap di dekat selah-selah jendelanya yang
dengan pelit terbuka sedikit sekali. Tak lama aku langsung dikagetkan suara
langkah-langkah kaki yang gontai mendekat. Lantai kayu dan hening malam membuat
suara langkahnya terdengar tegas. Lantas tiada jalan lain selain bergegas
melompat ke balik semak belukar yang menjulang tinggi. Aku pikir seseorang
tidak akan berani mencariku ke sana saat malam-malam.
Derap langkah kaki itu akhirnya berhenti. Tampak siluet
seorang perempuan berdiri di depan pintu rumah.
“Hira, aku tahu itu kau. Suamiku yang bodoh jelas takkan
menyadari kehadiranmu sejak pertama kali kau berkunjung kemari di malam itu.
Kurang lebih sekitar setengah tahun yang lalu. Saat ini, suamiku sedang tidak
ada di rumah. Ia dikirim ayahnya ke pelatihan wirausahawan muda desa di kota
dan akan pulang dua hari lagi,” ucap Maya setengah berteriak. “Aku tak yakin
kau akan lebih memilih bersembunyi di balik semak-semak itu daripada tidur
bersamaku malam ini.”
Ya, kalimat terakhir itu yang pada akhirnya membuat Maya
kini menjadi istri yang sah bagiku. Semuanya berawal dari hubungan gelap Maya
denganku. Hubungan tak resmi yang sepertinya begitu Maya nikmati. Kemudian
kabar itu mencuat menjadi kabar burung. Orang-orang berdesas-desus tentang
kehidupanku dengan Maya. Malah sampai aku disidang di balai desa. Tapi sayang
mereka tak punya bukti dan aku dibebaskan kembali. Hingga pada akhirnya aku
tertangkap basah, dan hampir-hampir mati dipukuli warga.
Kini aku bertanggung jawab atas perbuatanku. Maya kunikahi
kurang lebih seminggu setelah kejadian terakhir. Dan yang paling kuherankan, ia
bersikap seratus delapan puluh derajat dari yang aku kenal dulu sebelum
menikahinya. Aku tak pernah kehilangan sedetik pun merasakan rasa sayangnya. Ia
pun tak pernah absen bilang padaku bila ada perlu sesuatu atau sedang memiliki
masalah. Bahkan yang paling indah, aku dan Maya kini sudah dikaruniai dua orang
cucu. Yang satu sedang menempuh sekolah dasar, yang satu lagi masih balita.
0 komentar:
Posting Komentar