Sebenarnya saya belum mau menulis
setelah tulisan terakhir yang saya buat lebih dari sebulan yang lalu. Tapi apa
daya, saya berkomitmen untuk menulis, sebelum menonton film terbaru yang sangat
ingin saya tonton, Badges of Fury, diperankan oleh Jet Li. Film ini baru saya
beli tadi sekitar jam delapan malam, dan tulisan ini saya tulis jam sembilan lewat
dua puluh lima menit. Di perjalanan pulang dari toko kaset, kejadian di
perempatan lampu merah tadi cukup menjadi inspirasi bagi tulisan ini.
Tepatnya, perempatan M. Toha –
Lingkar Selatan. Saya berhenti berkendara karena lampu merah sedang menyala. Di
depan saya, seorang kakek bertubuh gemuk. Pun sedang berkendara motor. Pakaian yang
dikenakannya menggambarkan bahwa ia seorang ulama, tapi tak tahu lah. Ia memakai
sorban dan terbelit rapih ala da’i-da’i televisi di peci putihnya. Gamis
berwarna krem yang dilipat ke dalam, menyembul keluar di bawah jaket putihnya. Tak
lama seorang pengemis datang.
Pengemis itu seorang anak kecil,
umurnya mungkin berkisar 6-7 tahun. Pakaian yang lusuh dan rambut bulenya
menjadi ciri khas tersendiri bagi anak jalanan yang sering saya temui di
perempatan lampu merah Bandung, atau mungkin lebih luas lagi di Indonesia. Ia menghampiri
kakek tua itu. Wajahnya memelas seakan
berharap mendapatkan seribu dua ribu rupiah. “Pak, lapar, pak!” seru anak itu.
Dalam bayangan saya, kakek itu
merogoh isi kantongnya untuk mengeluarkan uang pecahan seribu atau mungkin dua
ribu. Setidaknya, uang sebanyak itu dapat dibelikan sepotong roti demi
mengganjal perutnya yang kelaparan. Anak itu pun tersenyum dan mengucapkan
terima kasih seraya meninggalkan si kakek. Tapi, ternyata tidak. Kakek itu
malah menggelengkan kepala saat diminta. Bahkan berulang-ulang anak itu
meminta, tetap saja hati si kakek tak bergeming. Hingga permintaan kelima
mungkin, saya agak lupa, si kakek tetap tak mengeluarkan isi sakunya, anak itu
pun meninggalkannya sambil berkata, “Gayanya aja pake sorban!”
0 komentar:
Posting Komentar